Pasar masih ramai-ramainya kala itu. Satu yang ku hapal dari harumnya yang mengusik hidung, wangi kali kecil yang busuk dicampur dengan bau kolor baru yang digantung pedagang di sisi jalan. Tidak terkesan sebagai barang jualan tapi cukup indah untuk dipandang.
Ada nada cemas saat ibu menggenggam tanganku, cengkramannya agak kuat, aku pikir ibu takut kehilanganku—aku pikir wajar saja, mafhum ini pasar dan mungkin tengah ramai disaat pamornya yang kian naik.
Pasar Minggu, Ahad waktu itu ibu sengaja membawaku pergi ke salah satu toko tas untuk keperluanku masuk sekolah dasar. Dan tahun itu, tengah ramainya kartun Upin Ipin! Tokoh animasi dengan kepala plontos dan tubuh yang tak pernah berkembang—pun sampai sekarang begitu, hanya animasinya saja yang makin keren, ku pikir.
"Mau yang mana?" Kata ibu sambil melihat bandrol-bandrol di samping tas.
"Yang itu aja!" Telunjukku beralih pada tas hitam dengan list merah di posisi paling atas jejeran tas-tas baru itu. Masih dengan kartun Upin Ipin yang menjadi gambar jelas tas itu, kali ini mereka mengenakan baju khas Melayu dengan senjata di tangan Upin, entah lah ku tebak itu keris.
Senyumku sumringah sampai rumah. Sesampainya, ku buka tas itu, ku lucuti dia dari plastiknya yang dengan erat melapisi permukaannya. Ku taruh dia di atas kursi, mungkin kalau bisa divisualisasikan aku terlihat tengah menyembah tas tersebut, terlalu kagum.
Sampai beberapa hari ku amati dia. Ku taruh dia dalam bupet—laci besar— lalu ku taruh di atas kursi lagi, ku masukan lagi dia ke bupet, ku keluarkan lagi, begitu seterusnya sampai ibu bosan. Tak apa, aku suka.
Sampai tiba-tiba ibu mengabarkan kalau kawanku dikhitan, saat itu aku belum kenal siapa dia.
"Rafi sunat lho, kamu gak mau nengokin dia?"
Ah anak-anak lagi gemar sekali khitan belakangan ini,
"Dia siapa?" Tanyaku,
"Anaknya teman ibu, mau ketemu sama dia?"
Pandanganku langsung mengarah ke tas ber-list merah.
"Bawa tas itu aja, buat hadiahnya!" Ah entah mengapa aku rela memberikan itu untuknya.
Tibalah kami di daerah yang aku sendiri tak tahu namanya. Sampai di rumahnya, aku langsung salim dengan tante cantik yang nampaknya akrab sekali dengan ibu. Ku tanya siapa dia, ternyata mama nya Rafi—tante Alma. Aku ber-oh ria.
Dia menawariku rendang, aku menolak. Dia bilang, dia menyediakan semur daging lengkap dengan ketupatnya, aku iyakan karena perut lapar sekali.
Lama menunggu, bukannya tante Alma yang keluar kali ini laki-laki tanpa sarung dengan baju kokoh yang menutupi sebagian pahanya mengajakku berkenalan.
Aku jengah, 'dia siapa' pikirku.
"Aku Rafi, kamu siapa?" Katanya.
Oh Tuhan, yang benar saja. Begini kah anak laki-laki berkenalan dengan perempuan? Tanpa celana?
Kaget, reflek aku menghampiri ibu dengan muka panik. Subjek yang kutakuti hanya cengengesan sambil menggaruk tengkuknya.
Satu yang kuingat waktu itu, gigi gingsul dan matanya yang segaris saat mengeluarkan tawa cengengesan membuatku berani untuk memperkenalkan diri. "Aku Riani!"
Tamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempoh
Short StorySengaja ku abadikan tiap potongan cerita kehidupan yang menggelikan itu. Beberapa diantara tulisan ini memang dominan ke arah laki-laki yang pernah menggelitik hati, selebihnya adalah sambatan-sambatan mengenai culasnya semesta pada kehidupan, ah iy...