Warkop Tepi Jalan

5 0 0
                                    

Ku kira, segala jenis afeksi di dunia ini dikirim kan oleh Tuhan sebagai ganjaran dari apa yang sudah ku lakukan. Ternyata, tidak sekecil itu Tuhan memaknai rasa sayang untuk hamba-Nya. Barangkali ia berbaik hati untuk menyenangkan hati hamba-Nya yang sedang patah atau merasa di bawah.

Langit setengah hujan, yang kulakukan saat itu tak lain dan tak bukan adalah berjalan untuk sampai rumah. Hanya berjalan, sembari menyumbatkan telinga dengan earphone yang mungkin umurnya sudah tidak lama lagi. Mungkin terdengar ekstrim sebab jika salah sasaran saja, petir bisa menyambarku yang nyeleneh ini. Tapi toh, dengan begini aku bisa dengan seksama menatapi kehidupan di sekitar ku yang berjalan begitu saja tanpa peduli ada aku di sini. Mereka tetap berjalan pada porosnya, begitu pula aku yang terus berjalan tanpa tahu arah tujuan.

Sebelum memasuki gang terakhir menuju rumah, aku sengaja berbelok ke Warung Kopi (Warkop) andalan orang-orang sini. Bukan karena rasanya yang enak--toh bubur dan kopi saschetan yang disediakan rasanya sama saja seperti di warung-warung yang lain--juga bukan karena umur warkop ini yang jika ia menjelma menjadi manusia sudah bisa dimasukkan ke SMP. Alasan yang masuk akal adalah karena tidak ada opsi selain warung ini.

"Bubur kacang hijau campur ketan hitam, banyakin ketannya. Sama es ovaltine nya satu." Begitu pintaku, yang diiyakan oleh abang warkop --mungkin sebaya dengan ku-- lalu dengan sigap ia membuat pesanan itu.

"Kenapa lagi?" ucapnya.

Kami memang cukup akrab, pertemuan pertama kami saat pernyortiran buku untuk lapakan liar di salah satu rumah kawan. Saat itu dia duduk untuk bertukar informasi dengan kawanku yang lain, sedangkan aku sibuk menyortir buku dan ber-oh ria saat kami bersitatap. 

"Gak apa, lagi ditimpa hal-hal gak berguna aja." sambil mengaduk bubur yang sudah disediakan dan bersiap menyantapnya setengah hati. Dalam adukan itu terdapat beberapa pertanyaan perihal hidup yang ingin sekali ku tanyakan pada dia, meminta pendapatnya, dan memaksanya untuk sekiranya memberiku nasihat untuk keluar dari lingkaran kepenatan yang tak berkesudahan ini. Namun jelas saja akan ku urungkan karena beberapa pertimbangan, salah satunya "untuk apa?".

Sesudahnya, aku membayar, dia menyambar tanganku--lebih tepatnya uang--lalu menahan genggaman itu sambil berkata, "yang kuat, jalani saja dulu. Semua ketakutan itu hanya di pikiranmu saja. Sampai waktunya tiba, pasti banyak yang membantu. Termasuk Tuhan." 

Aku tertegun setengah mampus, harus ku apakan laki-laki yang baru saja menambah semangatku ini? 

TempohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang