Posisi yang jauh dari pengawasan siapa-siapa kecuali Tuhan membuatku sedikit berani. Berani disini variatif, entah berani menaklukkan takut, membunuh rasa penasaran, bahkan sedikit menyimpang dari larangan Tuhan, astaga malunya—tak seharusnya aku bercerita di sini.
Langit Makassar kosong tanpa bulan maupun bintang. Di penghujung Ramadhan ini justru penasaran ku terhadap rokok tinggi kembali. Berbekal dengan nyali sok tahu dan referensi guru ku yang pernah mengisap rokok, aku pun nekat mencari informasi perihal tembakau yang nantinya aku isap.
Dengan kadar tar dan nikotin yang rendah, juga dengan sisa jatah jajan di minggu depan, aku pergi membeli satu bungkus rokok yang harganya bisa dibilang tak murah untuk kelasnya.
Dan kali ini, ku temukan kemerdekaan saat mengisap, menghembuskan, dan menikmati rasa perih yang terasa di tenggorokan. Dan pada kali ini juga kutemukan sedikit sensasi yang asik, ku hembuskan semua beban—sebetulnya tidak terlalu berat—yang ada di kepala.
Tuhan, akan ku jadikan rokok ini sebagai pelarian dari dosa-dosa yang tak akan ku perbuat, akan ku jadikan ini sebagai ujung dari tinggi nya maksiat yang ku lakukan, dan akan ku jadikan pula rokok ini sebagai wahana untuk aku menilik betapa bodohnya diri ini.
Sebentar lagi putungan ini lengkap sudah dan menjadi abu, setelahnya akan ku cicil semua untuk diselesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempoh
Short StorySengaja ku abadikan tiap potongan cerita kehidupan yang menggelikan itu. Beberapa diantara tulisan ini memang dominan ke arah laki-laki yang pernah menggelitik hati, selebihnya adalah sambatan-sambatan mengenai culasnya semesta pada kehidupan, ah iy...