Pada beberapa kesempatan aku ini jago betul dalam berkamuflase. Entah mungkin ini siasat atau memang tak mau kentara jelas, aku pasti selalu mencari perumpamaan yang kalau bisa tidak menjurus ke makna sebenarnya.
Ciremai adalah gunung yang keseluruhan langkah kaki ini mengingat semua tentangnya —walaupun secara bergantian pun aku masih mengingat Tuhan. Bukan tentang memori yang pernah dijalani, tapi tentang seberapa membuncahnya perasaan ini untuk bertukar kabar bahwa aku tidak jadi pergi ke Merbabu, gunung yang 7 tahun silam kau daki dan masih kau ingat jelas pula sisa-sisa kehangatannya.
Lepas dari sana, aku mau mengingatmu dengan segelas Teh Telur yang kata orang-orang rasanya amis namun yang ku temui adalah ingatan-ingatan adonan kue jadul yang mengembang buatan ibu. Pada teh ini pula kutemui kehangatan, entah di mulut, perut, bahkan pikiran.
Juga, secara sengaja ku posting analogi ini yang berhasil pula mendapat atensi mu. Namun, tegas ku katakan bahwa mungkin, itu akhir dari semuanya.Teh ini akan ku jadikan pemantik, untuk kejadian-kejadian diluar kehendak ku ataupun dia yang terjadi secara impulsif, namun berbekas secara kognisi di otak yang seharusnya tak lagi-lagi aku terjebak di masa lampau.
Walau kenyataannya teh ini lebih nikmat dinikmati saat berada di penghujung malam, ditemani sedikit rintik air hujan, juga celoteh santai tentang kinerja diri ini di organisasi atau pekerjaan. Dan jangan sekali-kali pakai es, nikmat sih, hanya saja kembung dan amis nya lebih kentara.
Awal November, 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempoh
ContoSengaja ku abadikan tiap potongan cerita kehidupan yang menggelikan itu. Beberapa diantara tulisan ini memang dominan ke arah laki-laki yang pernah menggelitik hati, selebihnya adalah sambatan-sambatan mengenai culasnya semesta pada kehidupan, ah iy...