Dinamika Pecalang

5 0 0
                                    

Malam ini--tidak, lebih tepatnya pagi--kami kembali berkeluh kesah, bertukar cerita.

Mulanya sederhana, hanya ajakan singkat untuk menemani tugas di ruang kaca, yang barang kali ia amini--sejujurnya saya tahu, dia pasti akan mengiyakan ajakan ini.

Mulanya sederhana, hanya ajakan singkat untuk menemani tugas di ruang kaca, yang barang kali ia amini--sejujurnya saya tahu, dia pasti akan mengiyakan ajakan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelahnya kami duduk dan bertukar cerita seperti biasanya. Musik mengalun dan kami mengalir begitu saja.

Malam kian larut, pagi mulai siap menyongsong.

Entah pemantik apa yang menjadikan pembahasan kami menjadi seterbuka ini.
Dia menanyakan kembali tentang kebingungan dan kegelisahan perihal hubungan kami. Ah! baru ingat. Pernyataan bahwa Winoto--salah satu teman PMM-- menanyakan tentang nama dari kedekatan kami, serta postingan 'menikah beda agama' menurut sudut pandang dirinya--agama katolik.

Dengan pertanyaan dan alis yang mengangkat, sebetulnya aku tau maksud pembicaraan ini kemana. Barangkali ia lelah dan takut.

Ternyata benar, dia menanyakan apakah perasaan nya berbalas atau tidak. Bagaimana jenjang selanjutnya. Dan mau bagaimana nantinya.

Ku bilang, "mari kita jalani saja dulu. Jangan tergesa-gesa, kita pun masih muda. Mesti banyak belajar dan membenahi keadaan keluarga." Dan dia pun sepakat.

Beberapa scene yang ia lontarkan seperti potongan film yang jika berbincang perihal ekonomi, dia akan menangis. Meratapi nasibnya, lalu bersyukur bertemu saya yang menerima dia apa adanya. Justru tidak, aku yang bersyukur karena dia sudah sudi untuk menolehkan mata ke perempuan modrok ini.

Dari ekor matanya ku tatap dia dalam. Menunggu buliran air mengalir di pipinya. Dia adalah laki-laki paling lembut yang pernah ku temui.

Alih-alih memeluk, aku pun dengan sengaja menggenggam tangannya. Mengusap ibu jarinya ketika tangan kami tengah bertaut. Harap-harap apa yang tadi aku lakukan bisa membuat dirinya tenang, semoga.

Dia pun mulai mengeratkan tangan kami yang bertaut. Memijit tipis batang hidungnya seraya memejamkan mata.
Ku dekatkan bahu kiri ku ke bahu kanannya. Sembari berbicara lembut, "jalani saja, peluang kita masih banyak,"

Dan ketika tangisnya mulai mereda, dia menatap kosong kedepan, namun tangan kami masih bertaut. Ku usap halus tangan yang setengah hangat dan kaku itu hingga pada kesempatan yang ada, ku lepas genggamannya.

Ah, Bli. Bagaimana nasib kita kedepannya?
Semoga kita tetap kuat dan bertahan. Jika memang kita adalah pemberhentian sementara, semoga kelak masing-masing dari kita bertemu dengan tambatan yang permanen. Aamiin.

TempohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang