Ini kali keduaku untuk unjuk gigi sebagai barista abal-abal. Sebetulnya, lebih kepada memanfaatkan keadaan untuk belajar—aku bayar untuk segelas es cokelat ini—secara gratis, mumpung fasilitas nya ada.
Setelah puas dengan hasil bubuk kopi yang presisi di portafilter dan brewing untuk double shot espresso yang setara, kali ini aku merambah pada Chocolate Sherpa, minuman dengan teknik termudah dan yang terpenting aku menyukainya.
Semua tertuang di resep, aku hanya harus mengikutinya saja.Parkiran di belakang kampus kala itu masih ramai, mafhum ashar baru saja berkumandang dan beberapa mahasiswa juga masih memiliki kelas hingga nanti matahari mulai bungkuk. Pun tak jauh dariku, beberapa rekan sedang menjalankan tugasnya untuk men-set up fun climbing rutin selama penerimaan calon anggota baru.
Ah, kembali lagi saat posisiku masih khidmatnya melakoni pekerjaan yang belum rampung. Tiba-tiba ia datang, iya dia.
Dengan langkahnya yang selalu ceria dia menghampiri kedai ini, kedai yang pernah ia kelola dan mungkin menjadi sebagian dari perjalanan hidupnya. Dengan senyum sumringahnya dia meledekku, entahlah itu ledekan atau pujian aku pun tak tahu pasti.
Masih dengan senyumnya ia masuk ke kedai, meminta sekaligus meledek, "mbak, Everest cold nya satu," diakhir dengan kekehan yang jujur saja membuatku nyengir tak kalah lebarnya. "Jangan deh, daripada gue yang buat jadi gak enak, nggak dulu, nggak mau!"
Tak lama ia menghilang, pergi ke sekretariat. Meninggalkan ku dengan senyuman yang entahlah harus aku namai apa perasaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempoh
Short StorySengaja ku abadikan tiap potongan cerita kehidupan yang menggelikan itu. Beberapa diantara tulisan ini memang dominan ke arah laki-laki yang pernah menggelitik hati, selebihnya adalah sambatan-sambatan mengenai culasnya semesta pada kehidupan, ah iy...