1. Pembalasan Pertama

289 56 57
                                    

"Lo gila!"

"Lo nggak waras!"

"Lo psikopat!"

Teriakan gadis yang diikat di kursi terus menggema di ruangan lembab dengan cahaya remang.

Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Susah payah dia melepaskan diri, tetapi sosok kejam di depannya tak memberikan celah sedikitpun.

"Udah ngocehnya?" Sosok berpakaian serba hitam itu menatap korbanya malas.

"Kalau udah, gue mau coba ketajaman pisau ini." Sosok itu tersenyum sembari memainkan pisau yang sudah dipegangnya.

Gadis itu terdiam saat sosok di depannya mulai mendekatinya perlahan. Dia itu bersiul, sembari mendekatkan benda tajam tersebut ke leher gadis itu.

"Dari dekat muka lo cantik." Sosok itu membelai wajah gadis tersebut dengan halus.

Tangannya turun ke dada korbannya. "Tapi ... lo nggak punya hati. Sekalipun lo punya, hati lo busuk."

"Bacot!" tampik gadis itu dengan amarah dan ketakutan yang bercampur yang ada di dalam dirinya.

Sosok di depannya bukan sembarang orang. Gadis itu merasa bodoh sekarang karena dengan mudahnya dijebak olehnya.

Tanpa sadar air mata gadis bersurai panjang itu turun dari tempatnya. Menyedihkan sekali jika dibayangkan akan tiada di tangan manusia tanpa belas kasihan.

"Hah? Lo nangis?" Sosok itu tertawa mengejek setelah melihat korbannya menangis tersedu-sedu.

Tawa itu berubah menjadi senyum remeh. Detik berikutnya, tangisan itu bercampur teriakan memilukan.

Pisau tajam berhasil menembus kulit leher gadis itu. Rasa perih menjalar ke seluruh tubuhnya saat pisau itu semakin ditekan.

"Kenapa? Sakit? Teriak dong! Jangan nangis! Gue nggak suka air mata!" bentak sosok itu dengan senyum kemenangan karena melihat darah mengalir dari leher korbannya.

"Teriak! Lo harus mohon-mohon sama gue!"

"Gue nggak suka lo diam aja!"

Hal yang paling diharapkan dari korbannya adalah teriakan dan permohonan agar dibebaskan. Namun, kali ini gadis di depannya hanya memekik merasakan sakit yang luar biasa.

Mendapatkan ide gila, sosok itu mengambil sesuatu di meja yang tak jauh darinya.

"Argh!"

Luka di leher yang sudah menganga sengaja di tetesi perasan air jeruk. Rasa perih semakin menjalar, gadis itu tidak kuat menahan semua ini.

"Jangan siksa gue! Lebih baik lo langsung bunuh gue!" pekik gadis itu terus meronta karena air jeruk itu semakin menyakitkan baginya.

"Oh, tidak." Sosok itu menghentikan aksinya. Ia mendekat untuk membisikkan sesuatu. "Karena gue suka orang tiada secara perlahan. Nggak enak langsung mati gitu aja."

"Lo gila! Lo psikopat!"

"Jangan panggil gue psikopat!" murka sosok itu dengan sangat mudah mood-nya berubah begitu saja.

Sosok itu menjambak rambut gadis itu. "Gue nggak suka disebut psikopat!"

"Lo pantas disebut itu, karena lo manusia gila yang nggak punya perasaan!" Gadis itu berteriak keras.

Namun, perkataannya malah membuat sosok itu kehilangan kesabaran. Dia mengambil pisau kecil lalu dengan sengaja menggoreskan di kulit gadis itu dengan kasar. Rintihan pun terdengar kembali.

Sosok itu menghentikan aksinya. Matanya menatap sendu netra gadis di depannya.

"Karena lo perasaan gue mati. Gue nggak punya rasa belas kasihan lagi. Itu semua karena lo."

"Lo yang bikin hidup gue hancur! Lo terus menindas gue di sekolah!"

Tatapan sendu itu berubah menjadi tajam. Gadis itu menatap sosok di depannya dengan perasaan takut.

"Sekarang gue cuma pengen balas dendam sama lo!"

"Lo harus merasakan sakit yang sama!" Sosok itu memperlihatkan luka goresan benda tajam di bahu kirinya. Luka yang dibuat oleh korbannya.

"Lihat, bahkan bekasnya pun masih belum pudar. Tapi ... lo terus nyiksa mental dan fisik gue!" berang sosok itu. Dia sakit hati, amarah sudah lama dipendamnya dan kini waktunya untuk membalas semuanya.

Sosok itu kembali mengambil pisaunya yang tergeletak di lantai. Dia menghujamkan benda tajam itu ke gadis di depannya tanpa ampun.

Dia harus merasakan rasa sakit sebelum tiada.

Dia harus merasakannya.

"Lo harus mati! Lo harus mati, sialan!" teriaknya dengan amarah yang memuncak. Tidak lupa dia memberikan luka dalam yang sama di bahu kiri korbannya.

Gadis itu sudah tidak bergerak. Jantungnya tak lagi berdetak. Napasnya pun sudah tiada.

Sosok itu tersenyum melihat pisau dan tangannya dipenuhi oleh darah orang yang paling dibencinya. Orang yang sudah mengambil kebahagiaannya.

"Akhirnya lo mati," gumam sosok itu sembari mengelus luka menganga di leher korbannya.

Senyum kemenangan itu tidak bertahan lama dan tergantikan oleh rasa sedih. Air matanya mengalir deras setelah melihat gadis di depannya tiada.

"Venya! Venya!"

Sosok itu mengguncang tubuh Veyna. Dia terkejut melihat pisau dan tangannya dipenuhi oleh darah.

Tidak mungkin dia melakukan ini, 'kan? Sosok itu menggeleng dan menjambak rambutnya sendiri.

"Argh! Venya tiada," pekik sosok itu terduduk lemas di samping jasad gadis bernama Venya Zeeu.

Perasaan aneh langsung mendatangi sosok itu. Kebingungan melandanya. Rasa sedih, marah, masih mengendalikan tubuhnya.

"Hahahaha." Sosok itu tertawa riang. Ditatapnya jasad Venya. Senyum mengerikan kembali terukir di wajahnya.

Dia puas, tetapi di sisi lain dia kasihan.

"Akhirnya Venya mati."

Brak!

Pintu ruangan yang terkunci itu terbuka lebar setelah beberapa orang berseragam hitam mendobraknya.

Sosok itu menoleh. Polisi dengan cepat sudah memborgol kedua tangannya. Bukannya panik dirinya ketahuan membunuh seseorang, dia malah tersenyum senang.

Borgol di tangannya bagai perhiasan. Dia suka itu.

"Anda berhak diam. Jelaskan nanti di kantor!" tegas dua orang polisi.

Sosok itu dipaksa berjalan. Dia melirik jasad Venya mulai diurus oleh tim dari pihak kepolisian.

"Akhirnya Venya mati. Gue seneng dia mati."

"Terima kasih sudah mau mengurus jasad manusia bajingan itu."

Kedua polisi itu saling bertatapan mendengar ucapan remaja perempuan dengan dendam yang masih tersimpan di dalam hatinya.

"Baru satu orang. Masih ada dua orang lainnya." Gadis berumur delapan belas tahun itu tersenyum kembali, membayangkan wajah dua orang yang harus dibunuhnya.

"Kalian juga harus tiada, menyusul Venya ke alam baka."

Ini baru permulaan cerita yang sebenarnya. Tak masalah jika harus tertangkap polisi, sosok itu bisa menanganinya dengan mudah nanti.

Tujuan hidupnya hanya satu setelah bebas nanti. Dia akan membunuh semua orang yang berbuat tidak adil kepada sosok bernama Anantha Gheania.


My Shadow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang