6. Kematian Selanjutnya

104 41 28
                                    

"Wah, udah jadi jalang."

"Kelihatannya polos, tapi nafsunya gede juga. Sampai bawa Danial ke gudang kosong itu buat ew...."

"Anjir! Nggak punya harga diri!"

"Ini bener Anantha? Gue yang cewek aja takut."

"Sejam berapa, Neng?"

Lontaran kebencian itu langsung didengar oleh Anantha. Koridor yang penuh murid tertuju padanya. Apalagi setelah melihat penampilan Anantha yang sangat berantakan.

"Mainnya jago juga, sampai bajunya robek." Siswa tak dikenal mendekati Anantha lalu berdecak. "Brutal banget!"

"Minggir!" lirih Anantha karena suaranya serak akibat berteriak melawan Danial tadi.

Siswa itu tidak mengikuti apa kata Anantha. Ia malah tersenyum remeh.

Layar benda pipih yang dipegang siswa kelas sepuluh itu diperlihatkan kepada Anantha. Awalnya tidak ada eskpresi apa pun, tetapi setelahnya Anantha terkejut. Matanya membulat sempurna.

Video itu, dimana ia dan Danial melakukan hal tak senonoh. Jelas terlihat Danial melumat bibirnya yang merah karena lipstik itu. Lalu, Danial merobek seragamnya. Kelanjutannya sungguh di luar nalar. Danial menjelajahi tubuhnya dengan tangannya.

"Lo itu murahan banget ternyata. Nyesel gue dulu ngasih belas kasihan ke lo," cerca siswa itu langsung mendorong Anantha hingga terhuyung.

Anantha kembali menangis. Harga dirinya sudah hilang. Ia tak menyangka semua ini akan terjadi.

"Jalang! Jalang!"

"Pembunuh! Gara-gara lo Queen sekolah Venya kita tiada!"

"Sekarang kita harus hukum dia!"

Semua murid langsung menghampiri Anantha, mereka menendang bahkan memukul cewek itu tanpa ampun.

Anantha hanya diam tidak melawan  saat semua orang menindasnya seperti ini.

"Aku nggak melakukannya," lirih Anantha. Air matanya terus mengucur deras.

Mendapat celah dari kerumunan, Anantha langsung berlari membebaskan diri. Tujuannya kini hanya satu, yaitu atap sekolah tempat favoritnya.

"Nggak perlu dikejar, biarin dia dapat sanksi sosial!" teriak siswa tadi.

Atap sekolah yang hening menjadi tempat di mana Anantha meluapkan emosinya. Terik matahari membuat matanya silau. Bahkan menangis pun masih belum cukup bagi Anantha.

Ia harus melakukan lebih.

"Mungkin ini saatnya."

Anantha perlahan berjalan ke tepi atap. Ia berdiri di sana, melihat ke bawah dengan mata sembabnya.

Gedung sekolah SMA Bina Bangsa terdiri dari empat lantai, dan sekarang Anantha ada di lantai tertinggi yaitu lantai empat.

"Hidupku sudah hancur, sekarang tambah hancur." Anantha mendongak, menatap langit yang dihiasi awan.

"Apa memang Tuhan sejahat ini? Kenapa Tuhan memberikan takdir seperti ini?"

"Kapan aku bahagia? Kenapa aku terus ditindas?"

Mata Anantha terpejam agar bulir bening yang memaksa keluar tak kembali mengalir di pipinya. Namun, Anantha gagal dan ia kembali menangis.

"Kapan aku bisa dipeluk Mama dan Papa? Kapan aku punya teman tulus? Kapan aku bisa tersenyum?"

Anantha kembali menunduk, melihat kedua sepatunya. Perlahan ia maju sampai ujung sepatunya tak lagi menapak di tepian atap itu.

Senyum palsu Anantha kembali terbit. "Mungkin mati adalah jalan satu-satunya biar hidupku damai."

My Shadow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang