16. Diadili

65 15 4
                                    

"Tidak masuk akal jika Anantha menyerang dirinya sendiri."

"Tapi setelah saya menemui Anantha, saya melihat pribadi jahatnya mengakui itu, Pak."

Nina terus menjelaskan kepada anggota polisi soal kejadian tadi. Beberapa dari mereka tidak percaya karena sangat tidak logis.

"Memang benar Anantha mengidap DID, Pak," jelas Nina agar mereka semua percaya padanya.

"Pelaku juga bernama Anantha Gheania. Mereka berdua tidak memiliki hubungan darah," ucap Nina menyimpulkan.

Seharusnya Nina tidak mengatakan itu. Polisi pun belum menerima hasil tes DNA, padahal sudah dua hari. Rasa penasaran sudah ada diujung tanduk. Jawaban harus segera ditemukan.

"Permisi." Pria asing masuk ke ruangan itu dengan membawa map cokelat.

"Ini hasil tes DNA Bella dan pelaku, Pak," ucapnya langsung memberikan map itu kepada polisi.

Dengan cepat polisi membuka map tersebut. Dia dengan teliti membaca keterangan di kertas. Matanya membulat sempurna setelah mengetahui jawaban yang sebenarnya.

"Pelaku dan Bella tidak mempunyai hubungan darah. Itu artinya-"

"Dia memang orang lain yang sengaja melakukan ini karena tidak terima Anantha menjadi korban bully dan kekerasan fisik." Nina memotong ucapan polisi.

Tanpa mengatakan apalagi, Nina langsung bergegas keluar dari ruangan itu. Kini tujuannya satu, ingin bertemu dengan pelaku yang mendekam di balik jeruji besi.

Langkah Nina terhenti setelah menemukan cewek yang melamun di pojokan sel tahanan.

Cewek itu mendongak setelah menyadari kedatangan seseorang. "Anda siapa?" tanyanya malas.

"Saya Nina Lileena, psikolog yang bekerja sama dengan polisi," jawab Nina berusaha sehalus mungkin untuk mengajaknya bicara.

"Cih." Sosok itu berdecih. Dia berdiri lalu mendekatkan tubuhnya ke jeruji besi. Nina dan dirinya saling berhadapan, hanya terhalang oleh jeruji besi itu saja.

"Siapa nama kamu?"

Pertanyaan yang tidak disukai sosok itu kembali didengarnya. Dia malas membahas nama.

"Kamu kenal dekat dengan Anantha?"

Sosok itu menatap Nina tajam. "Tidak," jawabnya singkat.

"Apa alasan kamu melakukan semua ini?"

"Mereka pantas mati. Mereka pikir dengan melakukan kejahatan akan terlihat keren?" timpal sosok itu diakhiri tawa renyah.

"Kamu juga melakukan kejahatan. Apa kamu merasa itu keren?" Nina membalikkan pertanyaan tersebut.

Respons sosok itu di luar dugaan. Tangannya dengan cepat meraih kerah baju Nina. Wanita itu tersentak.

"Ya, saya merasa keren," ucap sosok itu dengan seringaian mengerikan. Cengkraman di kerah Nina semakin kuat.

Nina memberontak, tetapi sosok di depannya tidak melepaskannya begitu saja. Penjaga di ruang tahanan pun sedang keluar, Nina bingung ingin meminta tolong kepada siapa.

"Saya suka menjadi pusat perhatian."

Cengkraman itu terlepas. Nina menjauh dari jeruji besi.

"Saya tertangkap pun tidak masalah, asalkan mereka semua sudah mati di tangan saya."

Sosok itu tertawa keras. Dia membayangkan raut memohon dari orang-orang yang sudah dibunuhnya.

"Bukti sudah terkumpul, 'kan? Kapan saya akan diadili?" tanyanya tanpa ada takut sedikitpun. Biasanya para tahanan takut jika akan segera dijatuhkan hukuman, tetapi sosok itu sangat berbeda.

My Shadow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang