3. Kebohongan

114 48 39
                                    

"Hanya karena uang kalian membebaskan pembunuh yang mengambil nyawa anak saya?!"

"Penegak hukum macam apa kalian, hah?! Dengan uang saja langsung tergiur?!"

Ruang kepala sekolah menjadi luapan emosi ibu dari Venya—Lena. Emosinya meluap karena keputusan bodoh para polisi itu.

Hendra selaku ayah Varo dan kepala sekolah SMA Bina Bangsa menenangkan Lena. Sosok ibu itu belum bisa merelakan putri semata wayangnya tiada.

Lena kembali duduk di kursinya. Emosinya bercampur dengan kesedihan.

"Orang tua pelaku itu sosok paling berpengaruh, mereka mengancam kami." Salah satu polisi menjelaskan.

"Hanya dengan ancaman kalian melepaskan hukum begitu saja?!" serang Lena. Hendra mengelus punggung Lena agar sabar mendengarkan penjelasan polisi.

"Mereka tau rahasia kami soal masuk ke kepolisian lewat jalur yang tidak benar. Kalau kami melawannya dan tidak membebaskan anaknya, kami sudah dipecat menjadi anggota polisi."

Penjelasan itu membuat Lena terdiam. Ia harus mendengarkan alasan dari mereka.

"Soal anak Ibu ... hasil otopsinya memang meninggal karena kehabisan darah," jelas satu orang polisi yang sedari tadi diam.

"Sedangkan pembunuhnya sendiri dia seorang gadis, umurnya mungkin masih delapan belas tahun."

"Kami ke sini karena kami mendengar dia sekolah di sini. Pembunuh dengan siswi yang kami curigai sangatlah mirip, bahkan mungkin susah untuk membedakannya."

"Kami akan menyelidikinya kembali. Jika benar, kasus ini akan naik tingkat dan pelaku bisa diadili."

"Maksud Bapak Anantha Gheania?" Sosok Vero tiba-tiba datang. Cowok tinggi itu sudah berdiri di tengah pintu. Kedatangannya menarik perhatian semua orang di ruangan kepala sekolah.

Varo masuk begitu saja tanpa menyapa. "Levant!" panggilnya.

Levant datang membawa Anantha. Kedua polisi itu langsung membulatkan matanya melihat sosok Anantha. Mereka berdua langsung berdiri.

"Dia ... mirip sekali dengan pembunuh itu." Salah satu polisi bertubuh tinggi mendekati Anantha. Ia mencoba mencari perbedaan dan kemiripan dengan sosok yang dimaksudnya.

"Patut dicurigai."

"Kita harus memastikan sidik jarinya."

"Tidak perlu." Bu Martha tiba-tiba datang dan sudah ada di samping Anantha yang terdiam saja.

Bu Martha menggenggam tangan Anantha kuat. "Dia punya alibi. Saya adalah alibinya."

"Bu Martha! Sebaiknya Anda diam, karena ini urusan polisi!" Hendra yang menutup mulut ikut berbicara. "Jika tidak saya akan memecat Anda sekarang juga!"

"Saya tidak bisa diam, karena ini juga urusan saya. Ancaman itu lagi? Saya tidak takut!" cetus Bu Martha. Kini ia sudah kebal dengan ancaman Hendra yang ingin memecatnya sebagai guru Matematika di sekolah ini.

"Hari Senin, tanggal dua belas, pukul sebelas malam. Saat itu Anantha ada bersama saya. Saya berada di rumahnya karena mengajar les Matematika," jelas Bu Martha.

Penjelasan itu membalikkan kecurigaan para polisi.

"Jadi, jangan mencurigai seseorang sebelum tahu latar belakang saat waktu Venya dibunuh," sindir Bu Martha kepada kedua polisi itu.

Bu Martha tertuju pada Lena. "Saya tahu perasaan Bu Lena selaku ibu kandung Venya. Jika ingin kasus ini cepat selesai, cari polisi lain untuk mengatasinya. Cari yang lebih pandai, bukan hanya mencurigai orang tak bersalah, lalu memutuskan dia adalah pelakunya."

My Shadow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang