01. Hari ini

1.9K 200 15
                                    


.
.
.
.
.
Antares tau jika keputusannya ini akan membawa dampak buruk pada hubungannya dengan Langit, bahkan mungkin lebih buruk dari dua tahun lalu.

Ares hanya ingin hatinya tidak kembali di hancurkan, dia sedang mencoba sembuh namun Langit sudah kembali menggores luka. Tapi Ares tidak pernah tahu jika keputusannya hari itu membawa kehancuran untuk keluarganya.

Ares tidak tahu jika Alta merasa bersalah karena dia yang mengantar Ares ke stasiun, Leo, Hadar dan Igel yang mengamuk pada Langit saat tau jika dua tahun lalu Ares pernah berjanji pada Langit jika dia akan pergi saat Langit kembali menggores luka.

Sudah lebih dari satu minggu Ares pergi, meninggalkan Jakarta dan kembali ke jogja. Bukan pulang ke rumah nya sendiri, melainkan menetap di rumah dokter Rian. Ares hanya takut jika nanti nya Langit akan mendatangi rumah nya, dan kembali memaki.

"Ares." Ares yang semula terdiam di halaman belakang sedikit tersentak saat mendengar suara Daffa.

"Gak usah ngagetin." Daffa tertawa pelan.

"Padahal aku gak teriak loh, kamu aja yang lagi ngelamun." Ares tersenyum sendu, dia selalu saja melamun karena memikirkan saudara-saudaranya jika sedang sendirian.

"Gak usah di pikirin, tenangin pikiran mu dulu." Ares mengangguk.

"Aku takut kalau ayah tiba-tiba ke sini terus marah-marah Fa." Daffa menggeleng.

"Gak akan, ada aku, ada papa, ada om Rian juga. Gak usah khawatir soal itu." Daffa jelas tau apa yang di alami sahabatnya itu hingga Ares memilih pergi dari rumah yang selama ini mampu membuat dia mengurai tawa.

"Tapi aku kangen sama mereka Fa." Daffa menepuk pelan pundak Ares saat sang sahabat mengatakan itu.

"Mau hubungin mereka?" Ares menggeleng. Dia jelas tidak ingin saudara-saudara nya tau tentang dia yang ada bersama Daffa.

"Sekali-sekali kamu harus hubungin mereka Res, kasian mereka kalau kamu ilang tiba-tiba." Ares kembali tersenyum sendu, ucapan Daffa ada benarnya namun pemuda itu tidak tau justru karena saudara-saudaranya lah Ares pergi.

"Gak usah, nanti aku malah bikin mereka repot."
.
.
.
.
.
Ares menatap sendu pada ponsel lama nya yang baru saja dia nyalakan, ada banyak pesan yang dikirim oleh saudara-saudaranya, bahkan mega dan keempat kakek nenek nya. Langit juga mengirimkan pesan berisi permintaan maaf dan juga menanyakan ada dimana dia sekarang, namun Ares tidak pernah ingin membalas pesan-pesan itu. Jangan kan membalas, membacanya saja tidak Ares lakukan.

Ares segera kembali mematikan ponsel itu, karena dia tau jika saudara-saudaranya akan langsung menghubungi nomor lama nya itu saat tau pesan mereka sudah terkirim. Ares belum siap untuk mendengar suara mereka, apa lagi jika mereka merengek padanya. Bisa-bisa Ares tidak akan mengatakan tidak nanti nya.

"Hah." Helaan nafas panjang yang dilakukan Ares memancing perhatian Rian yang memang tengah duduk di sebelahnya.

"Kangen mereka?" Ares mengangguk pelan.

"Kenapa gak di baca aja pesan nya, balas salah satu aja. Rigel, Alden atau Rius kan bisa." Ares menggeleng kecil, pemuda itu meremas tangannya sendiri karena panik.

"Nanti ayah tau, aku gak mau ketemu ayah om." Rian segera menggenggam tangan Ares saat menyadari pemuda kesayangannya itu panik.

"Ssttt iya iya udah, jangan panik. Liat om, Ares. Tarik nafas pelan-pelan, nah bagus." Rian menghela nafas lega saat Ares mengikuti ucapan nya.

"Jangan kasih tau mereka om, jangan." Rian mengangguk dan menarik tubuh Ares kedalam pelukan nya.

"Iya gak, om gak akan kasih tau saudara-saudara kamu."

Dibalik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang