06. Hanya dari jauh

755 120 4
                                    


.
.
.
.
.
Setelah Leo dan Hadar memberitahu soal Ares, saat ini mereka semua hanya bisa mengalah dan pasrah.

Mereka ingin menemui Ares tapi sayang pemuda itu tidak bisa mereka temui sembarangan saat ini. Bahkan meskipun rasa rindu mereka membuncah pun mereka hanya bisa menatap tanpa bisa memeluk.

"Rion." Rion tersentak kecil saat Igel menepuk pundaknya.

"Apa?" Igel menghela nafas panjang saat mendengar suara lesu Rion.

"Mobilnya mau lo bawa aja? Gue ada praktek nanti, paling pulang malem." Rion menggeleng.

"Gak usah, lo bawa aja. Gue males nyetir." Igel menatap lekat pada kembarannya itu.

"Yakin? Lo nanti pulang nya gimana?"

"Naik taxi." Igel tidak bisa lagi memaksa Rion jika seperti ini.

"Ya udah, kalau gitu nanti kalau lo pulang kabarin gue." Rion hanya mengangguk dan segera turun dari mobil.

Rion dan Igel memang sekampus, tapi beda fakultas. Igel di fakultas teknik sedangkan Rion di fakultas kedokteran.

"Gue harus gimana lagi biar lo balik kayak biasa Yon?" Igep.menatap punggung tegap kakak kembar nya itu.

"Kita udah tau kabat bang Ares, meskipun kita belum bisa ketemu langsung harusnya itu udah bikin kita semua lega." Igel meremat kemudi nya.

"Bang Ares, gue harus gimana sekarang?"

Lain Igel lain pula Rion, pemuda itu memasang wajah datar begitu turun dari mobil. Mengabaikan sapaan dari mereka yang mengenalnya, memang sejak Ares menghilang dua bulan lalu Rion berubah. Tidak ada lagi Rion yang ramah dan selalu menebar senyum, senyum pemuda itu turut menghilang bersama sosok kakak kesayangannya.

"Rion!" Rion hanya melirik pada seseorang yang baru saja memanggilnya.

"Hm?"

"Gak usah sok jutek, gue tau lo aslinya pingin ketawa." Rion menatap tidak suka pada pemuda di sebelahnya.

"Lo beneran gak mau ketawa gitu Yon? Kayak biasanya?" Rion hanya menghela nafas kesal dan kembali melangkah, meninggalkan pemuda yang mencoba mencerna tindakan Rion.

"Rion kenapa gue ditinggal?!"
.
.
.
.
.
"Ares, makasih karena udah mau memperpanjang kontrak kerja dengan sekolah ini." Ares tersenyum tipis saat seorang guru perempuan mengatakan itu.

"Anak-anak itu yang membuat saya kembali mbak." Perempuan itu sedikit tersipu malu saat Ares memanggilnya mbak.

"Ingin menemui mereka?" Ares menggeleng.

"Minggu depan saja mbak, saat mulai kembali mengajar. Saya takut mereka tidak mengijinkan saya untuk pulang nanti." Perempuan di sebelah Ares itu tertawa kecil.

"Kamu benar, mereka terlalu menyayangi kak Ares mereka. Bahkan hampir semua dari mereka menangis saat tidak menemukan kamu mengajar dua bulan lalu Res, mereka tidak mau masuk kelas karena bukan kamu yang mengajar." Guru perempuan itu mengingat kejadian dua bulan lalu, saat para murid spesial dari kelas yang di ajar Ares mogok belajar.

"Mereka lucu kan mbak?" Perempuan itu mengangguk.

"Kamu adalah orang pertama yang bilang mereka lucu, guru-guru sebelumnya selalu mengeluh karena kenakalan mereka." Ares menatap jauh ke depan, kearah kelas yang berisi lima belas anak-anak spesial.

"Mereka spesial mbak Abel, kita tidak bisa menyebut mereka nakal karena tingkah mereka yang tidak bisa diam. Mereka tidak bisa memilih akan lahir seperti apa, jika mereka bisa memilih, mereka pasti memilih menjadi anak-anak normal seperti anak-anak di luar sana." Guru perempuan bernama Abel itu terkagum oleh ucapan Ares.

"Astaga Antares, seandainya saya belum menikah saya pasti baper dengar ucapan kamu tadi." Ares hanya tertawa kecil.

Abel memang sudah menikah, lebih tepatnya Abel adalah istri dari kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah khusus anak-anak spesial itu.

"Kalau begitu saya pamit dulu mbak, saya masih harus ke suatu tempat setelah ini." Abel mengangguk dan tersenyum.

"Iya, hati-hati Antares. Sampai jumpa minggu depan." Abel melambaikan tangannya pada Ares yang melangkah menuju mobilnya.

Ares menghela nafas panjang, dia bukan tidak sadar jika ada mobil adik ya berhenti di seberang sekolah tempat nya berada sekarang. Ares tentu tau, karena dia sangat mengenali mobil milik Alden itu.

Ares ingin menyapa tapi rasa takutnya mengalahkan hal itu, Ares masih ingat bagaimana respon tubuhnya saat bertemu Leo beberapa minggu lalu. Karena serangan panik itu Ares harus kembali meminum obatnya.

"Maafkan saya, saya terlalu pengecut untuk menemui kalian."
.
.
.
.
.
Ares menghentikan mobilnya setelah masuk kedalam gerbang rumah mewah milik keluarga sang bunda. Ini pertama kalinya Ares kemari setelah dua tahun lalu, dimana dia kembali di usir dari sana.

Ares turun dan berjalan pelan ke arah rumah, pemuda itu menghirup nafas panjang sebelum memutuskan mengetuk pintu.

Tok

Tok

Tok

Tok

Cklek

Ares tersenyum ramah saat melihat jika yang membuka pintu rumah itu adalah Riki, putra pertama Rania.

"Ares." Ares hanya mengangguk.

"Ayo masuk, mama, uti sama akung pasti seneng kamu kesini." Ares hanya diam saat pundaknya di rangkul oleh Riki, karena memang tinggi badan mereka sedikit berbeda.

"Ya gusti Ares!" Rania memekik senang saat melihat putranya merangkul Ares. Bahkan kedatangan Ares berhasil membuat Sarah dan Rahmat terkejut.

Grep

"Ares kemana aja? Kenapa dua bulan ini gak ngabarin le?" Ares hanya diam saat Sara memeluk tubuhnya.

"Ares pulang ke jogja uti, kangen sama bunda." Sarah menghela nafas lega, paling tidak cucu bungsu nya baik-baik saja.

"Ares udah makan?" Ares menggeleng.

"Kalau gitu nanti harus mau makan disini, tante masak sayur lodeh sama ayam goreng." Ares mengangguk.

"Iya tante." Ares kembali tersenyum saat merasakan elusan tangan Rahmat di kepalanya.

"Kamu nginep sini kan le?" Ares memilih mengangguk, tidak ada salah nya dia menginap toh dia tidak menetap selamanya.

"Iya kung, Ares udah janji ke mas Riki kalau mau nginep disini." Sarah yang tidak tahan melihat wajah manis Ares memilih mengecup pipi pemuda itu.

Cup

Cup

Cup

"Uti, jangan di cium terus!" Ares yang tidak suka skinsip pun berusaha melepaskan pelukan Sarah.

"Biarin, soalnya kamu gemesin buat uti." Ares mengernyit saat dadanya sedikit terasa sesak.

"U-uti udah, Ares sesak." Mendengar hal itu Sarah langsung melepaskan pelukan nya pada Ares. Dan benar saja mereka melihat Ares mencoba menetralkan nafasnya.

"Maafkan uti ya le." Sarah ikut panik saat melihat Ares.

"Ares gak papa uti, tapi jangan kenceng-kenceng." Sarah kembali tersenyum dan mengelus kepala Ares.

"Ya udah kalau gitu kamu istirahat aja Res, nanti kalau makan siang nya udah selesai uti panggil." Namun bukannya bertanya pada Sarah dimana kamar yang bisa dia tempati, Ares justru merebahkan dirinya di sofa panjang depan televisi.

"Ares disini aja uti, males di kamar nanti sendirian." Sarah mengangguk.

"Riki jangan di ganggu Ares nya, biarin istirahat dulu." Riki hanya mengangguk, tidak memiliki niat untuk mengganggu Ares.

"Ares hebat banget loh le, bisa bertahan sampai sekarang tanpa benci itu susah le. Akung bangga sama kamu le."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat pagi
Ketemu lagi sama Ares nih...
Ada yang kangen?
Kepagian gak sih aku up nya?

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

Dibalik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang