10. Berusaha lagi

792 123 4
                                    


.
.
.
.
.
Kamar rawat Ares terlihat ramai saat ini, karena semua adik-adiknya ada disana. Langit menghela nafas panjang saat melihat tatapan marah dari Leo, Hadar, Igel bahkan Alta, keempat nya tampak ingin sekali menelan Langit hidup-hidup.

"Bang Ares kenapa?" Rion adalah orang yang pertama kali membuka suara, pemuda itu mendekati ranjang dimana Ares masih terlelap.

"Panic attack." Jawaban singkat Langit justru membuat Alta, Leo dan Hadar semakin marah.

"Kenapa papa nemuin Ares?" Langit menatap nanar pada putra sulung nya.

"Alta–"

"Bukankah sudah Alta bilang jangan temuin Ares?!" Pekikan Alta membuat semua yang ada disana mematung, terutama Langit yang lagi-lagi harus mendapat sentakan dari putra sulung nya.

"Lihat apa akibat dari tindakan gegabah papa? Kan Alta sudah bilang jangan nemuin Ares pa. Kita semua udah tau Ares ada di jakarta tapi kita semua gak pernah maksa nemuin dia karena gak mau dia kayak gini, kita ngejaga supaya Ares tetap baik-baik aja dan mau pulang ke rumah tanpa harus kami paksa. Tapi lihat sekarang, apa setelah ini Ares akan mau ketemu kita semua?" Langit mengepalkan tangannya, dia baru mencerna semua itu sekarang. Sebelumnya ego nya masih terus berjalan, yang dia pikirkan hanyalah Ares pulang dan anak-anak nya mau pulang ke rumahnya karena Mega merindukan mereka.

"Lebih baik papa pulang." Langit kembali terkejut dengan pengusiran yang dilakukan Leo padanya.

"Kamu ngusir papa Le?" Leo menatap datar pada sang papa yang berdiri di hadapan Alta.

"Iya, jadi lebih baik papa pulang sebelum bang Ares sadar terus liat papa disini." Langit tidak bisa melakukan apapun lagi selain menuruti ucapan Leo, karena dia tidak ingin Leo semakin membencinya.

"Kalau gitu papa pulang dulu, kabari papa kalau kakak kalian sudah sadar."
.
.
.
.
.
"Bang Ares, kita kangen sama abang." Alden menggenggam tangan Ares yang bebas dari infus.

"Tapi kita gak mau liat abang kayak gini, maafin papa ya bang." Alden sebenarnya ingin menangis saat melihat Ares seperti ini. Dia memang ingin bertemu Ares tapi tidak cara seperti ini.

"Den, ayo makan dulu." Alden beralih menatap Leo yang baru saja menepuk pundaknya. Saudara kembarnya itu baru saja kembali dari kantin, dan sepertinya yang lain masih berada disana.

"Leo, bang Ares baik-baik aja kan?" Leo mengangguk ragu, dia sendiri tidak tau bagaimana keadaan Ares nantinya.

"Bang Ares pasti baik-baik saja, sekarang ayo makan dulu." Alden mengangguk dan membuka mulut saat Leo menyuapi nya.

"Gue udah telpon bang Rasen, paling nanti malem bang Rasen bakal kesini." Alden mengangguk. Mau bagaimana pun Rasen adalah sahabat Ares, dan dia juga yang selama ini melindungi Ares.

"Aku pingin liat bang Ares pulang sama kita Le, tapi belum bisa ya?" Leo menggeleng.

"Bang Ares pasti pulang Den, tapi gak sekarang. Mungkin nanti kalau bang Ares siap." Alden mengangguk kecil.

"Bang Ares kurusan, liat pipinya jadi tirus." Leo ikut menatap wajah Ares yang sedang di pandang oleh Alden. Benar, kakak kedua mereka itu terlihat lebih kurus dibanding saat terakhir kali mereka bertemu di rumah.

"Bang Ares, ayo cepet bangun bang. Alden kangen sama abang." Leo tersenyum sendu, dia saja yang dulunya sangat membenci Ares bisa sesayang ini pada Ares, apa lagi Alden, pasti jauh lebih sakit saat melihat Ares seperti sekarang ini.

"Udah, ayo habisin dulu makan nya."
.
.
.
.
.
Ares mengerjapkan matanya pelan, langit-langit putih yang dia lihat sudah menjelaskan dimana dia berada. Ares menghela nafas panjang, sedikit menghilangkan sesak yang masih terasa meskipun dia menggunakan masker oksigen.

Ares mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak kembali panik, terutama saat mengetahui jika semua adik-adiknya ada sana. Mereka sibuk dengan kegiatannya dan belum menyadari jika Ares sudah sadar, bahkan Alden yang tengah menggenggam tangannya saja tidak menyadari hal itu.

Grep

Ares balas menggenggam tangan Alden, dan itu membuat pemuda tinggi itu terkejut. Ares belum bisa mengeluarkan suaranya, dan cara itu adalah satu-satunya yang bisa Ares lakukan untuk memberitahu adik-adiknya.

"B-bang Ares." Ares tersenyum tipis saat Alden menatap ke arah nya, matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mulai meneteskan air mata.

"Bang Ares." Ucapan Alden yang diiringi isakan lirih membuat semua saudaranya menoleh dan menatap cemas pada Alden.

"Dek, kenapa?" Alta mendekati Alden yang tengah menciumi tangan Ares, dan pemuda itu akhirnya menyadari apa yang membuat Alden menangis.

"Ares." Alden yang menyadari genggaman Ares menguat langsung menatap kearah sang kakak.

"Ares, tenang, jangan panik ya. Papa gak ada disini kok, cuma ada kita." Alta mengucapkan kata penenang saat menyadari jika Ares kembali panik.

"Tarik nafas pelan-pelan bang, gak ada papa disini, abang aman kok." Ares menatap pada Igel yang tersenyum di sisi kanan ranjang nya bersama Rion dan Rius.

"Tenang aja, kita gak akan biarin papa kesini." Ares memejamkan matanya saat tangan Alta mengelus kepalanya. Melihat kakak dan adik-adiknya memang menjadi keinginan Ares sebelumnya tapi dia tidak menyangka akan bertemu mereka dalam keadaan seperti ini.

"Jangan di lepas bang." Igel menghalangi tangan Ares untuk melepas masker oksigen nya.

"Tunggu dokter Noe sebentar ya." Ares hanya bisa mengangguk kecil.

"M-maaf." Satu-satunya yang mendengar gumaman Ares adalah Alden.

"Jangan minta maaf bang, bang Ares gak salah, kita yang salah. Kita terlalu sibuk sampai lupa kalau bang Ares butuh teman di rumah, kita bahkan gak tau kalau papa mulai kasar lagi ke bang Ares." Ares hanya bisa berkedip saat Alden mengatakan itu.

"Bisa kasih ruang, biar saya periksa Ares dulu." Semua sontak menyingkir saat Noe mengatakan itu. Dokter yang merangkap sebagai sahabat sang ayah itu segera mendekat pada Ares saat yang lain menyingkir.

"Masih sesak?" Ares mengangguk.

"Sedikit." Noe yang mendengar itu ikut mengangguk.

"Saya ganti ke nasal canula biar lebih nyaman ya." Ares hanya diam dan menurut apa yang dilakukan oleh Noe.

"Dokter, jangan beritahu om Zein." Noe mengangguk, lebih baik menuruti Ares saat ini.

"Keadaan Ares sudah baik, usahakan supaya dia tidak panik lagi." Noe menatap ketujuh anak sahabatnya itu.

"Iya om, makasih."

Rius mendekati Ares saat Noe meninggalkan kamar Ares, yang lain hanya membiarkan si bungsu mendekati kakak mereka itu.

"Bang Ares." Ares menoleh karena panggilan pelan Rius.

"Rius." Rius tersenyum tipis dan menyentuh tangan Ares.

"Abang, aku kangen." Ares mengulas senyum, dia bisa mengatasi paniknya saat ini meskipun jantung nya masih berdebar sangat kencang.

"Sini." Ares membuka tangannya dan membuat Rius langsung memeluk tubuh mungil itu. Membiarkan tubuhnya jadi setengah menunduk karena posisi Ares yang masih berbaring.

"Abang, kenapa pergi gak kasih tau aku? Maafin aku yang sibuk di luar rumah sehabis kuliah...maaf bang." Rius mulai terisak pelan saat merasakan elusan pelan tangan Ares di punggung nya.

"Abang, ayo pulang." Elusan tangan Ares pada punggung Rius langsung berhenti.

"Maaf Ri, saya belum bisa." Rius semakin terisak saat mendengar jawaban Ares. Seperti nya mereka masih harus berusaha lagi untuk membawa Ares pulang.

"Ya sudah, tapi jangan larang kami nemuin abang." Ares akhirnya mengangguk kecil, lagi pula tidak ada salahnya menemui saudara-saudaranya, mereka tidak bersalah.

"Rius, jangan terlalu kencang, saya tidak bisa bernafas."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malam
Double up nih...
Makasih buat kalian yang udah stay nungguin book ini ya...
Doain semoga bisa marathon up secepatnya...
Soalnya book ini gak terlalu panjang kok...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya ...

–Moon–

Dibalik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang