08. Rindu yang menyiksa

710 126 11
                                    


.
.
.
.
.
Tidak ada yang paling menyiksa untuk Alta selain rindu, dia rindu pada Ares, adiknya itu jarang membalas pesannya, meskipun dia sudah mengetahui nomor ponsel Ares yang baru.

Alta iri sebenarnya pada Leo, Hadar atau Igel yang sudah bertemu secara langsung dengan Ares, tapi bagaimana pun dia harus menghargai pilihan Ares. Alta hanya bisa menunggu hingga Ares sendiri yang menemuinya.

"Altair." Alta yang semula menatap layar ponselnya langsung merubah wajahnya menjadi datar, tentu saja karena yang baru saja masuk ke dalam ruangan nya adalah sang papa.

"Ada apa pak Langit? Apa pekerjaan saya ada kesalahan?" Langit terdiam mendengar ucapan formal Alta padanya.

"Gak, gak ada kesalahan. Ini jam istirahat, kenapa kamu gak makan siang?" Alta masih betah menatap datar pada Langit sebelum menjawab.

"Saya sudah makan, anda tidak perlu khawatir." Langit menghela nafas panjang.

"Alta, nanti ke rumah ya, mama kalian kangen." Alta tidak memberi jawaban apapun pada Langit saat ini.

"Alta, papa tau kalian semua marah ke papa. Tapi papa janji akan membawa Ares pulang, lagi pula Ares sudah ada di jakarta, sebentar lagi papa akan membawa dia pulang." Alta yang mendengar itu langsung menatap tajam pada Langit.

"Gak usah nemuin Ares atau deketin dia lagi." Langit sedikit terkejut mendengar ucapan dingin Alta.

"Kalian ingin dia pulang kan? Kalau gitu papa akan bawa dia pulang." Alta terlihat semakin marah saat mendengar hal itu.

"Berhenti bersikap egois pa! Ares pergi karena papa, dia gak mau pulang karena papa. Apa papa kira dia akan mau pulang kalau papa yang minta?!" Langit terdiam mendengar sentakan Alta, tapi dia terlalu ingin melihat anak-anak nya mau mampir ke rumah.

"Alta-"

"Papa kira kami semua gak tau kalau Ares di jakarta? Kami tau pa, bahkan lebih dari sebulan lalu kami tau. Tapi bahkan kami pun gak bisa minta Ares pulang, apa lagi papa! Alta ingetin sekali lagi pa, jangan temuin Ares kalau papa gak mau yang lain semakin marah ke papa!"
.
.
.
.
.
"Kak Ares, ini bagus?" Ares tersenyum dan mengangguk saat salah satu anak didik nya menunjukan sebuah gambar.

"Wah bagus, Andini pintar ya." Anak perempuan yang di puji oleh Ares itu memekik senang.

"Lihat punya Musa kakak." Ares kembali tersenyum.

"Musa juga pintar." Ares mengelus kepala murid nya pelan.

"Oke sekarang semua duduk manis ya, siapa yang mau pulang?" Ares menatap satu persatu anak didik nya.

"Maya!"

"Musa kak!"

"Jani...Jani."

Ares hanya tertawa kecil saat mendengar seruan-seruan dari lima belas anak didik nya itu.

"Kalau mau pulang sekarang duduk manis, kak Ares mau lihat siapa yang jadi anak baik." Kelima belas murid itu langsung duduk dan menuruti ucapan Ares.

Ares tidak mampu menahan senyum nya, senyuman nya itu merekah saat melihat wajah-wajah polos murid nya.

Ares tidak menahan mereka untuk keluar kelas saat orang tua yang menjemput mereka sudah datang, para orang tua itu juga turut senang saat melihat Ares kembali mengajar minggu lalu. Mereka bahagia karena anak-anak mereka juga kembali bersemangat untuk belajar.

"Antares, jangan keluar dulu." Ares yang baru saja akan berjalan keluar sekolah langsung berhenti saat mendengar ucapan Dani.

"Kenapa mas? Ada masalah?" Dani menggeleng.

"Di luar ada orang yang nungguin kamu, padahal udah di bilang kalau kamu gak ada disini." Ares terdiam, dia bingung siapa yang menunggu nya.

"Adik-adik saya mas?" Dani menggeleng.

"Bukan, dia tadi bilang sih, dia papa kamu."

Deg

Ares langsung mengepalkan tangannya erat, bagaimana mungkin Langit mengetahui jika dirinya kembali mengajar.

"Ares kenapa?" Ares hanya bisa menggeleng kecil.

"Ayo ke kantor aja dulu." Ares menurut saat Dani kembali menarik tangannya ke kantor.

"Itu bapak-bapak yang nungguin Ares belum pulang?" Dani menggeleng saat Anton, sang kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah itu bertanya.

"Ares, kalau kamu mau pulang, telpon Rasen saja. Minta dia jemput ke sini, tapi lewat parkiran belakang, mobil kamu tinggal disini aja dulu." Ares mengangguk, setuju dengan usulan Anton.

Lagi pula Ares tidak bisa lebih lama di sekolah, bisa-bisa dia merepotkan guru-guru yang lain, jika panic attack nya kambuh karena kehadiran Langit.

"Lewat pintu di ruangan saya saja, itu langsung akses ke parkiran belakang." Anton mengajak Ares masuk ke ruangannya dan membawanya ke pintu yang terhubung langsung kebelakang.

"Rasen habis ini sampai, kamu tunggu sini aja. Tenangin diri kamu dulu, nafas yang bener, jangan di tahan gitu." Anton mengelus punggung Ares saat menyadari jika salah satu guru nya itu menahan nafasnya.

"Rasen sudah datang, ayo." Anton menunjukan chat nya dengan Rasen pada Ares. Beruntung Anton adalah suami dari sepupu Rasen, jadi dia mempunyai kontak Rasen dan mengetahui sedikit soal Ares.

"Ares!" Rasen terlihat panik saat melihat wajah pucat Ares.

"Bang Anton, makasih udah jagain Ares. Kita pulang dulu." Anton hanya mengangguk, menatap lekat pada punggung Ares dan Rasen yang sudah menghilang ke dalam mobil.

"Lo anak yang kuat Res, kalau gue udah pasti milih bunuh diri dari dulu."
.
.
.
.
.
Ares bergelung di balik selimut setelah berhasil mengatasi panic attack nya, pemuda itu baru saja meminum obatnya. Rasen tidak meninggalkan Ares, pemuda itu hanya sengaja duduk di ruang tamu setelah memberi kabar pada Leo tentang Ares.

Brak

"Bang Rasen!" Rasen menghela nafas panjang saat Leo sudah datang.

"Bang, bang Ares gimana?" Rasen hanya melirik pintu kamar Ares yang tidak tertutup rapat.

"Liat aja sendiri, tapi jangan di ganggu kalau dia tidur." Leo dan Hadar mengangguk, keduanya bergegas masuk ke dalam kamar Ares.

Leo mengelus kepala Ares saat melihat wajah kakaknya itu sedikit pucat.

"Ada apa sebenernya bang? Kenapa panic attack bang Ares bisa kambuh?" Rasen melirik ke arah Leo dan Hadar.

"Papa kalian ke sekolah tadi, untung Ares belum sempat keluar dari sekolah, jadi belum sempat ketemu. Tapi sayang nya Ares sudah terlanjur panik." Leo mengepalkan tangannya erat.

"Papa ngapain sih? Gak puas apa dia bikin bang Ares pergi dari rumah?!" Hadar menggenggam tangan Leo yang terkepal.

"Sabar bang, abang harus tenang sekarang. Jangan sampai bang Ares panik lagi kalau liat bang Leo kesel gini." Leo menghembuskan nafas panjang.

"Hadar, kalau gitu lo disini aja. Nginep disini kalau bisa, temenin bang Ares. Gue mau pulang dulu, gue perlu ngomong sama mas Alta." Hadar hanya mengangguk tanpa berniat mencegah Leo.

"Jangan ngamuk di rumah bang, nanti mereka bisa maksa kesini kalau tau." Leo hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya berlalu keluar.

"Titip Ares ya Dar, gue masih ada kerjaan. Nanti sore gue balik kesini." Hadar kembali mengangguk.

"Iya bang, percaya aja sama gue. Gue pasti jaga bang Ares."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat pagi
Ada yang kangen Ares?
Nih Ares balik...
Aku kangen marathon up deh, tapi masih belum bisa buat marathon up...
Doain munggu depan udah bisa marathon up ya...

Aku juga mau minta maaf, buat book Kehilangan aku unpublish dulu ya ...
Bukan karena gak mau ngelanjutin, tapi emang book itu jadi book yang paling sulit buat aku tulis, karena selalu menguras emosi...
Jadi sekarang mau aku keep dulu, sambil di tulis pelan-pelan, biar gak kelamaan nunggu updatenya...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

Dibalik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang