02. Semua tentang mereka

999 156 13
                                    


.
.
.
.
.
Tidak ada yang baik-baik saja, semua terlihat sangat berantakan. Mereka menyibukkan diri dengan segala kegiatan mereka di luar rumah, sekaligus mencari keberadaan Ares.

Alta yang semakin sibuk dengan pekerjaan kantornya, tapi tidak pernah menghiraukan Langit. Leo yang semakin hari semakin tidak bisa mengontrol emosi saat melihat kedatangan Langit di rumah mereka. Juga kembar dan si bungsu yang secara terang-terangan menyalahkan Langit atas kepergian Ares.

Baru dua minggu dan keadaan mereka sudah seberantakan ini, Alden dan Hadar hampir setiap hari mendatangi sekolah luar biasa tempat Ares mengajar untuk menanyakan hal tentang Ares. Namun mereka tidak mendapatkan apapun kecuali pemberitahuan jika Ares tidak memperpanjang kontrak kerja mereka.

"Hah, lo dimana sih bang?" Leo menyandarkan kepalanya pada kemudi mobil, dia baru saja keliling jakarta untuk mencari informasi tentang Ares.

"Lo bohong soal pulang ke jogja, rumah lo kosong." Leo mengepalkan tangannya erat.

Dia marah, marah pada dirinya sendiri yang tidak peka jika Ares kesepian dan kembali terluka karena sang ayah.

"Harusnya gue sadar dan nemenin lo waktu itu kan bang? Gue tau lo lagi gak sehat tapi gue cuma minta lo buat istirahat, bahkan gue gak nyempatin buat nemenin lo. Kalau aja waktu itu gue nemenin lo, lo pasti gak bakal nerima telpon papa dan berakhir lo pergi sekarang." Leo memejamkan matanya.

Jika di tanya apakah dia lelah, pasti Leo akan menjawab iya. Tapi karena ini tentang Ares, maka Leo tidak akan pernah lelah mencari Ares dan membawanya kembali pulang.

"Gue kangen bang, yang lain juga kangen sama lo."
.
.
.
.
.
Ares lagi-lagi harus terbangun tengah malam karena sesak nafas, udara jogja sedang dingin di tambah mimpi buruk yang entah kenapa kembali hadir menemani malamnya.

"Ugh...hah...hah..." Ares mencoba menetralkan nafasnya, dia tidak ingin Rian tau dan melarangnya kembali ke jakarta dalam waktu dekat.

Ares sudah memakai inhaler ya, dan itu sedikit membantu meskipun nafasnya masih terasa berat.

"Untung om Rian udah tidur." Ares kembali menatap langit-langit kamar, dia belum berani kembali berbaring.

"Kangen, tapi aku gak mau ketemu ayah." Ares menatap layar ponselnya, dimana foto dia bersama saudara-saudaranya menjadi wallpaper.

"Kalian sehat kan? Gak ada yang sakit kan?" Ares sebenarnya ingin menghubungi mereka tapi otak nya melarang hal itu.

"Maafin aku, aku bukan adek dan abang yang baik buat kalian."

Ares meremat ponselnya erat, mencoba menenangkan gejolak rindu yang ada di dadanya. Dia rindu melihat saudara-saudaranya, tapi juga terlalu sakit jika dia harus bertemu Langit.

"Bunda, mampir ke mimpi Ares ya, Ares mau cerita."
.
.
.
.
.
Daffa tau jika Ares sebenarnya tengah banyak pikiran, sahabatnya itu sudah pasti memikirkan kabar saudara-saudara nya di jakarta.

"Masih mikirin mereka? Udah kabarin aja siapa yang paling kamu percaya Res." Ares menghela nafas panjang saat Daffa mengatakan itu.

"Aku kangen mereka Fa, tapi aku gak siap buat sakit lagi." Daffa mengerti dengan jelas perasaan Ares, bagaimana pun sahabatnya itu mempunyai pengalaman buruk dengan sang ayah kandung.

"Res, dengerin ya. Kamu ngehubungin salah satu dari mereka itu gak akan bikin kamu ketemu sama setan satu itu, cukup kamu kasih kabar ke saudara-saudara kamu dan bilang ke mereka kalau jangan sampai orang tua mereka tau. Paham?!" Ares mengangguk kecil.

"Nanti aku pikirin lagi deh."

Hari ini Ares sengaja menghabiskan waktunya bersama Daffa, karena besok dia sudah harus kembali ke jakarta. Jangan sampai Daffa marah-marah karena dia tidak mau di ajak main.

"Rasen udah tau kalau kamu mau balik ke jakarta?" Ares mengangguk sambil memakan kentang goreng nya.

"Udah, om Rian udah bilang ke Rasen dan minta Rasen buat bantu bersihin rumah om Rian disana." Daffa mengangguk dan menatap lekat pada Ares.

"Oh iya Res, kamu masih kerja di tempat yang sama?" Lagi-lagi Ares mengangguk.

"Kalau kamu ketemu mereka gimana? Kan mereka tau tempat ngajar mu." Ares tersenyum simpul.

"Kalau masalah itu, aku udah minta tolong ke pihak mereka buat bilang kalau aku gak perpanjang kontrak." Daffa menggeleng heran mendengar jawaban Ares.

"Kayaknya kamu ketularan gila nya Rasen Res."
.
.
.
.
.
Alta berjalan masuk ke dalam rumah dengan panik, terutama dia mendengar kabar dari Hadar jika Leo sakit, itulah yang membuat Hadar yang menjemput Alta.

"Alden, Leo gimana?" Alden yang memang sedang ada di kamar Leo menoleh dan tersenyum tipis.

"Leo cuma demam mas, kayaknya karena kecapekan, mas gak perlu khawatir." Alta menghela nafas lega, dia tidak ingin adik-adiknya jatuh sakit.

"Udah panggil dokter?" Alden menggeleng, dan itu membuat Alta mengernyit bingung.

"Kenapa gak panggil dokter dek?" Alden terlihat mengelus tangan Leo yang terus menggenggam tangannya lembut.

"Leo yang gak mau mas, dia bahkan ngancem gak mau makan kalau aku panggil dokter." Alta menghela nafas panjang.

"Ya udah, mas mau mandi sama ganti baju dulu. Habis ini mas gantiin kamu jaga Leo." Alden mengangguk kecil.

"Iya mas."

Alta beranjak pergi dari kamar Leo setelahnya, pemuda itu masuk ke kamar nya sendiri, namun sebelum sempat masuk ke kamar, tatapannya lekat menatap pada pintu kamar berwarna putih yang ada tepat di depan kamarnya.

Pintu kamar yang dua minggu ini selalu tertutup karena penghuni nya tidak ada, entah akan benar-benar kembali kesana atau tidak, tapi Alta selalu berharap jika salah satu adiknya akan kembali ke rumah itu.

"Ares." Alta menggigit bibir bawahnya sendiri setelah bergumam.

"Kamu dimana? Nomor kamu sempet aktif tapi chat kita sama sekali gak pernah kamu baca. Leo sakit Res, biasanya dia gak akan mau lepas dari kamu." Alta memutuskan segera masuk ke kamarnya sebelum adik-adiknya yang lain memergokinya tengah menangis di sana.

"Kita semua kangen Res, ayo pulang. Aku bakal jauhin kamu dari papa, aku tau apa yang udah papa lakuin."
.
.
.
.
.
Ares bergerak gelisah dalam tidurnya, dahinya berkerut dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya.

"Bunda..."

"Bunda...."

Rian yang baru saja berniat membangunkan Ares untuk makan malam langsung panik saat mengetahui jika pemuda kesayangannya itu mimpi buruk.

"Ares."

"Antares."

Rian beberapa kali menepuk pipi Ares, mencoba membangunkan pemuda mungil itu.

"Ares bangun." Setelah tiga kali panggilan, Rian baru bisa bernafas lega saat melihat kelopak mata Ares terbuka.

"Hah...hah...hah..." Rian menarik tubuh Ares hingga terduduk saat mengetahui nafas Ares yang tidak beraturan.

"Sesak?" Ares hanya mengangguk kecil.

"Ikutin nafas om, tarik nafas pelan, keluarkan." Ares mengikuti hal itu dengan baik, dan berhasil membuat nafasnya sedikit membaik.

"Mimpi buruk lagi?" Rian menatap Ares lekat dan mendapat anggukan dari pemuda itu.

"Nanti om minta Rasen buat sering-sering nginep kalau kamu udah ada di jakarta, om takut kamu kayak gini lagi." Ares tidak bisa menolak dan memilih mengangguk.

"Ayo makan dulu kalau gitu, habis itu kamu bisa lanjut tidur lagi." Ares hanya menurut saat tangannya di tarik Rian.

"Nanti temenin tidur om, pingin di usuk-usuk." Rian hanya mengangguk kecil, kebiasaan Ares memang tidak akan pernah berubah.

"Iya, nanti om usuk-usuk punggung nya. Tapi kamu makan dulu."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat pagi...
Mas Ares menyapa pagi ini...
Ada yang kangen?
Ada yang nungguin?

Selamat membaca dan semoga suka ya...

See ya...

–Moon–

Dibalik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang