Ketika aku di tanya kenapa ingin mati, sebenarnya aku tak terlalu ingin mati. Aku hanya kesepian. Ketika aku di tanya kenapa ingin hidup, aku tak bisa memberikan jawaban.
Adalah apa yang selama ini berada di pikirannya. Hidup di tengah keluarga yang hampa, hidup bersama lingkungan yang selalu menuntutnya, dan hidup dengan memikul ekspetasi banyak orang adalah alur yang telah di takdirkan tuhan untuknya. Orang-orang memanggilnya ‘anak berbakat’, juga memanggilnya sebagai ‘pemuda jenius’. Acap kali juga dipanggil sebagai ‘putera sang politikus’.Padahal ia ingin di panggil dengan namanya, Eve.
Akan tetapi setelah hampir seumur hidup berharap, ia memilih untuk menyerah. Dan membiarkan dirinya menjadi pohon tunggal yang di dekati hanya untuk di manfaatkan naungannya. Tetap berdiri tegap untuk mereka yang sengaja mendekatinya demi keuntungan pribadi. Menjadi sosok mandiri yang tak kenal lelah dan luka demi orang lain yang menaruh harapan padanya.
Lelah? Sudah tentu. Tapi siapa yang bisa membopongnya? Toh, ia sudah hafal tabiat semua orang termasuk orangtuanya sendiri.
“Dia sudah besar. Sudah bisa mandiri. Ia pasti bisa mengatasinya sendiri.”
Dan sejak ia mendengar kalimat ini langsung dari mulut mereka, Eve memutuskan untuk tak lagi mengeluarkan keluhan barang sekecil apapun. Menaruh sebuah mindset dalam dirinya sendiri untuk tidak mengatakan apapun masalahnya.
Seperti yang terjadi pada saat ini.
Di halaman belakang sekolah yang sudah pasti jarang di datangi itu, Eve di kepung empat siswa dengan satu yang menjadi boss dan tiga yang berbadan tinggi besar. Tiga orang ini kompak dengan seringai menginjak Eve yang meringkuk melindungi diri. bukannya ia tak bisa melawan, hanya ia sudah melakukannya dan kalah jumlah serta tenaga.
Alasan perundungannya? Klise, kok.
“Harusnya kau tidak banyak tingkah, sialan. Selalu saja ibuku membicarakanmu lagi dan lagi. Persetan! Memang apa artinya punya nilai bagus kalau kau tidak memiliki eksistensi?”
Eve memilih diam, tentu saja. Apa bagusnya menjawab keluhan orang bodoh yang hanya bisa cemburu dan mendengki. Banyak orang sejenis ini selalu memiliki rute yang sama, merundung orang yang mereka benci dan puas saat melihat orang itu lemah di depan matanya.
Sayangnya, Eve tidak selemah itu.
Menemukan celah, Eve mengerahkan seluruh tenaganya untuk berguling menjauh dan bangun dari rebah. Merogoh kantong, ia gigit tali alarm keamanan yang langsung memekakkan suara. Selagi empat orang itu terperangah kaget, Eve bergerak cepat menonjok telak pipi si anak yang berlagak jadi boss sampai jatuh tersungkur. Beruntungnya Eve, lokasi mereka saat ini cukup dekat dengan jendela ruang guru. Dan sesuai dengan prediksinya, seorang guru membuka jendela dan melongok ke bawah.
“SEDANG APA KALIAN DI BAWAH SANA, HUH!?” Bentak sang guru.
“Sial—!”
Eve mendongak. Dengan ekspresi datar, ia tunjukkan wajahnya yang lebam dan membuat sang guru memekik ketakutan. “ASTAGA, EVE-KUN!?”
Kericuhan mulai terdengar di ruang guru. Termasuk beberapa orang yang juga ikut memekik dan berteriak heboh. Menghela napas pelan, Eve meninggalkan lokasi seorang diri sambil memeluk lengan. Seperti yang di harapkan dari para guru, mereka dengan nada dan tatapan khawatir segera menyapa Eve.
“Nak, apa yang terjadi?! Apa kau di rundung!?”
Eve hanya mengangguk.
“Oh, astaga! Bagaimana ini!?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Outsider || SouEve
Short Story⛓️ Utaite Fanfiction ⛓️ mungkin ia hanya lelah. atau mungkin ia bosan saja dengan kesehariannya. dirinya sendiri bahkan tak tahu bagaimana cara untuk menjabarkan apa yang saat ini ia rasakan. padahal, ia sudah berhasil menerima keadaan hidupnya. ia...