1. (Not So) ORDINARY MORNING - a

296 104 200
                                    

Rasi Bintang Orion

"Bang Sat...," teriakku sambil terus menggedor-gedor pintu kamar mandi di kamar Satria. "Buruan napa. Rasi entar telat, nih. Emangnya Abang mau tanggung jawab kalo Rasi telat, hah?"

Tak lama setelah aku menggerutu tidak jelas, pintu kamar mandi terbuka. Lalu, keluarlah sosok cowok berusia 19 tahun dengan perawakan yang cukup tampan, bertubuh tegap, rambutnya agak panjang seperti tak diurus. Malah kukira dia tak pernah sisiran, hingga sesekali aku harus membawanya ke barber shop. Alis tebalnya serasi dengan matanya yang kebiruan dan itu yang membuatku iri dengannya.

"Eh, malah bengong. Masuk sana!" Perkataannya membuat mataku mengerjap.

"Iya, iya gue masuk."

"Lagian juga kamar mandi di kamar lo kenapa?"

"Bosen, Bang. Tiap hari ngeliatin gambar bebek mulu di bathup."

Satria tertawa kecil seraya mengacak-acak rambutku. "Ya udah mandi sana. Jangan becek-becekan!"

Perkenalkan, namaku Rasi Bintang Orion. Lahir di New York, tanggal 1 Januari 2003 pada saat musim dingin. Bukan. Aku bukan blasteran. Aku orang Indonesia asli. Dan yang kutahu sampai saat ini hanyalah aku orang Jakarta, karena besar di Jakarta. Hanya saja waktu aku lahir, Papa sedang bisnis di sana.

Mengenai pemberian nama Orion di belakang namaku karena kata Papa di langit terlihat paling terang menjelang datangnya musim dingin. Entah apa tujuannya. Tapi aku senang dengan nama tersebut meski sampai sekarang masih ada yang mengejek namaku. Ada yang bilang kurang kreatiflah, asal ngasih nama, bla... bla... bla.... Whatever! Ini namaku. Ini duniaku. Apa urusanmu? Kujelaskan pun kamu tak kan memahaminya.

Rambut panjangku yang tebal dan bergelombang biasanya aku kepang seperti Rapunzel. Kadang aku kesal dengan rambutku sendiri. Entah menurun dari siapa. Sebab setahuku Mama, Papa, dan Satria berambut lurus. Jadi, kalau tak dikepang, rambutku seperti rambut singa.

Kulitku kuning langsat. Mama sangat menjagaku agar tetap bersinar hingga aku tidak boleh ke manapun kecuali sekolah. Les pun memanggil guru privat. Huh, mudah-mudahan aku nantinya tak jadi cewek kurang update karena jarang bersosialisasi.

"Mama jalan dulu, ya." Mama tiba-tiba menyambar pipiku ketika keluar pintu kamarku.

"Sekarang?"

"Iya, sekarang. Mama males kena ganjil genap. Oh ya, uang buat jajan Mama taro di meja makan, ya. Jangan jajan sembarangan. Bibi udah Mama suruh buatin bekal. Jangan lupa makan. Nanti pulangnya sama Pak Dirman. Jangan pulang sendiri. Lagi banyak penculikan."

Mama yang bicara sepanjang 12 gerbong kereta, kok gue yang ngos-ngosan yah? Oh, mungkin karena gue nahan napas selama Mama berbicara tadi.

Mama mengecup keningku sekali lagi, lalu pergi.

"Satria, jangan lupa makan!"

Tentunya abangku itu hanya diam saja. Dia hanya melirik sekilas dari ruang makan ke arah Mama, lalu melanjutkan mengoles cokelat pada rotinya.

Perkenalkan, Estradivari atau lebih akrab dipanggil Ibu Esti oleh ibu-ibu kompleks, adalah nama mamaku. Mama bekerja sebagai lawyer corporate di sebuah perusahaan Amerika di daerah Sudirman. Kadang sikap tegas nan bakunya itu terbawa sampai ke lingkungan rumah. Berbeda dengan Papa yang mempunyai jam kerja lebih fleksibel. Beliau termasuk orang yang santai karena pekerjaannya sebagai pengusaha di bidang eksport import.

Omong-omong tentang Papa, perkenalkan, Adit Pradipta atau biasa disapa dengan Pak Diptha. Dulu, Papa bekerja sebagai programmer di luar negeri. Tapi ketika sudah kembali Indonesia, Papa mulai memfokuskan pada usaha yang dibangunnya sendiri di bidang eksport import. Ya bisa dibilang Papa sangat sibuk. Terlebih saat platform e-commerce dan market place yang didirikannya sudah go international. Aku tahu kalau Papa menyayangiku dan Satria. Tapi antara pekerjaan dan keluarga, Papa pasti akan memilih pekerjaan di atas segalanya.

Usai mengepang rambut, kuhampiri abang kesayanganku yang bernama lengkap Satria Abimanyu itu. "Bang Sat...."

Kulihat dia hanya melirik tak acuh ke arahku setiap aku memanggilnya begitu. Entah sejak kapan, tapi dia tidak pernah sekali pun memarahiku.

Satria meletakkan roti di atas piringku, lalu meneguk segelas air putih hingga tandas. Dia memang tidak menyukai susu sepertiku. Katanya rasanya aneh di lidah.

"Makasih, Bang." Kugigit potongan roti itu, sambil berpikir bagaimana caranya untuk meluluhkan hati Satria agar tidak terlihat murung. Wajah seperti ini selalu kutemukan ketika Mama atau Papa pergi bekerja. Apa dia sedih karena ditinggal sendirian? Lalu, bagaimana kalau aku pergi sekolah?

"Abang."

"Hm?"

"Abang mau cerita ke gue enggak?"

"Cerita apa?"

Aku berhenti mengunyah dan menelan roti. Kusesap sedikit susu cokelat, lalu menatap penuh arah Satria. "Bang, gue jujur, nih. Gue sayang banget sama lo, Bang. Lo kalo ada apa-apa terus butuh temen buat cerita, ya cerita sama guelah. Jangan dipendem."

"Lo kenapa, Dek? Sakit?" Satria memegang dahiku.

"Apaan sih lo, Bang?" Kutepis tangannya. "Gue serius, nih. Lo kesepian, ya?"

Raut wajah Satria berubah sendu. Dia menatap kosong ke arah rotiku. "Gue pengin kuliah. Gue pengin ngerasain kayak orang normal lainnya."

Disleksia. Itu yang menghambatnya. Kesulitannya dalam hal membaca dan menulis tentunya membuat perbedaan kami sangat mencolok. Walau Satria sudah lulus SMA melalui jalur homeschooling, sepertinya dia ingin sekali dapat bertemu orang banyak dan mempunyai banyak teman.

Entahlah. Tapi kurasa kekurangan Satria sepertinya yang menjadi alasan Mama bersikap tak acuh kepadanya. Aku turut merasakan apa yang Satria rasakan. Karena setiap melihat Satria bersedih atau bersikap seperti ini, seperti ada kepingan yang hilang dari hatiku.

"Iya, Bang. Gue ngerti. Entar coba gue bilang ke Mama Papa." Aku menyesap sedikit susuku. "Abang selain musik dan basket, suka apa?"

"Kenapa nanya gitu?"

"Ya kali aja gue nemu temen yang cocok buat lo, Bang." Senyumku mengembang. "Udah, Bang. Jadi sedih lagi. Kalo Abang sedih, gue juga sedih. Semangat dong, Bang...." []

❤️

Hola, Gengs. Cerita baru lagi nihh. Awalnya cerita ini sudah pernah terbit di Storial secara premium tahun 2020, pas pandemi lagi ngeri-ngerinya. Nah, berhubung tahun lalu sudah habis masa kontraknya, aku tulis deh ceritanya di sini. Aku tau kalian suka yang gratis-gratis. Hahaa~

Bab 1 ini kebanyakan wordsnya, jadi kubagi dua. Penasaran Rasi ngapain lagi setelah sarapan dengan Bang Sat? Next yaa ^^

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang