6. SETTINGAN AWAL

76 62 40
                                    

RASI BINTANG ORION

"Renata, tolong jangan pergi!" Antonio menarik tangan Renata sambil berlutut. Dia pun menangis membayangkan bagaimana kondisi hatinya jikalau kekasih yang telah dipacarinya selama dua tahun itu.

Ah, bucin lo, To. Masih banyak stok cewek lain yang lebih cantik dari Renata. Aku mendumal sendiri setelah membaca ulang cerita yang sedang kutulis. Setelah mengerjakan tugas Sosiologi, aku menyempatkan untuk menulis sebentar. Tapi nyatanya sudah hampir setengah jam, aku baru menulis satu paragraf. Sepertinya naskah ini akan benar-benar berakhir di tempat sampah. Huhh....

Tunggu! Tentang Justin... apa cewek yang dimaksudnya itu adalah aku? Ah, tidak mungkin Justin menyukaiku. Dan kalau iya itu aku, berarti mata Justin harus diperiksakan ke dokter. Apa yang dilihat dariku coba? Iya tahu, aku cantik. Tapi kan kalau ceroboh dan pelupa, mau dari segi mana yang bisa Justin banggakan?

"Rasi Bintang Orion, keluar sini! Makan malam dulu," teriak Mama.

Panggilan Mama adalah alarm yang tepat saat ini karena tiba-tiba saja perutku terasa mulas. Mungkin efek terlalu lama memikirkan cowok bernama Justin itu. Ah, tak tahu lagi bagaimana aku harus bersikap kepadanya besok. Yang terpenting aku mendapat izin dari Mama dan bisa belajar dengan Gerhana.

"Bang Sat...," sapaku riang ketika keluar kamar. Abangku itu tengah membenarkan senar gitarnya di kamarnya.

"Rasi!" Mama menyebut namaku dengan nada marah.

Tanpa mengacuhkan panggilan Mama, aku masuk ke kamar Satria. "Bang, ayo makan! Oh ya, entar gue mau curhat sama lo ya, Bang."

Satria hanya mengangkat satu alisnya sebagai respons. Aku menghela napas melihat sikap diamnya Satria. Apa dia tidak bosan dengan awet bicara begitu?

"Rasi!" teriak Mama lagi.

Kuhampiri Mama dengan langkah tergesa. Aku pun membantunya menuang air minum. "Iya, Ma. Kenapa?" Perasaan dari tadi aku enggak ngelakuin kesalahan apa pun deh.

"Kamu tuh ya, Mama kasih nama bagus buat kakakmu, tapi kamu malah enggak sopan gitu. Mama enggak suka, Rasi!"

Aku berdecak. "I-iya, Ma. Maaf. Tapi kan aku," aku duduk setelah Satria duduk, "manggilnya singkat, Ma, tiga huruf doang. Bang sama Sat gitu, Ma. Jadi Bang Sat."

"Enggak ada nama panggilan yang lain apa? Malu didenger orang."

"Ya masa Bang Ria, kan enggak lucu, Ma."

Satria tersedak minumannya. Dia sampai berlari ke wastafel dan terbatuk-batuk.

"Yah, Bang, maaf. Pasti karena gue, ya?" tanyaku ketika dia kembali ke meja makan.

"Ya Tuhan, polos banget adek gue." Satria mengatakannya dengan suara pelan, tapi memang pada dasarnya pendengaranku tajam, ya jadi aku tahu.

"Abang juga enggak marah ya, kan?" Kupeluk lengannya sambil cengengesan.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Rasi?" tanya Ayah seraya meletakkan potongan ayam goreng ke atas piring Satria.

Aku tersenyum melihat perlakuan Papa. Hampir tidak percaya malah. Kalau perbuatannya itu dilakukan dengan tidak sengaja, ya setidaknya bisa menyenangkan hati Satria.

"Biasa aja, Pa," jawabku singkat. Aku menggigit bibir bawahku, ragu dengan apa yang akan kukatakan kepada Mama. "Ng... Ma, aku udah ketemu guru privat bagus."

"Siapa?" Nada bicara Mama membuat hatiku ciut.

"Ng... dia temenku, Ma. Dia yang waktu itu aku ceritain. Namanya Gerhana."

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang