Gerhana Devaputra
Alarm berbunyi dengan nyaring, dengan sigap aku langsung mematikannya. Pagi yang menyenangkan. Tentu saja moodku pagi ini sangat baik karena tadi malam Rasi mau berbicara denganku lagi.
Yah, terlepas dari alasan dia yang sedikit aneh, enggak mau aku kena bully dan dia digosipin numpang tenar karena menempel dengan Gerhana, sang anak angkat pemilik sekolah. Memikirkan itu, aku tertawa. Halu tingkat dewa, 'anak angkat Tuan Aquilla', beruntung banget ya gue! Lagian yang seharusnya numpang tenar aku kan, anak baru yang miskin di tengah lautan bocah-bocah kaya? Kenapa yang dicibirin malah Rasi?
Tapi setelah aku pikirkan lagi, sepertinya aku tahu biang dari gosip-gosip jelek tentang Rasi. Ya, siapa lagi kalau bukan Sandra. Heran deh sama cewek itu. Padahal dia sudah populer di sekolah. Istilahnya kalau sama Rasi, enggak bakalan popularitas dia kalah sama cewek itu.
Ah, lupakan saja.
Setelah mandi dan memakai seragam, aku bermaksud membuat sarapan dan bekal. Tapi, sial! Begitu aku membuka rice cooker, ternyata kosong! Padahal aku yakin banget sudah memasak nasi tadi malam sebelum tidur. Kalau sudah begini, aku harus bikin apa?
Aku mendesah, terpaksa bikin mie goreng. Maka, aku mengeluarkan dua bungkus mie. Mengeluarkan bawang putih, cabai rawit, daun bawang, telur dan tomat sebagai pelengkap. Akhir bulan cuma bisa masak itu.
"Oh, Gerhana, lo masak mie lagi? Udah yang ke berapa kali minggu ini?" tanya Mas Budi yang baru masuk. Melihat penampilannya yang memakai celana joger, jaket hoodie, sepatu kets, dan earphone, kelihatannya cowok itu habis lari pagi. Mas Budi ini memang suka sekali berolahraga dan menerapkan gaya hidup sehat.
"Tadinya mau bikin nasi goreng, Mas, tapi habis!" jawabku datar. Aku merobek bungkus mie dan memasukan ke dalam air yang sudah mendidih.
Tiba-tiba Mas Budi terkekeh. "Sori, Ger, tadi sebelum joging, gue laper banget. Jadi nasinya gue makan."
"Semua, Mas?" tanyaku kaget. Karena seingatku nasinya cukup buat tiga porsi.
"Ya, semuanya. Orang sisa sedikit, kok."
Aku memasang wajah bingung, "Gue masak nasi tadi malam dua cangkir lho, Mas. Enggak mungkin sedikit."
Mas Budi lebih heran. "Seriusan tinggal sedikit."
Dan jawabannya terkuak ketika Mas Iwan keluar dari kamarnya sambil membawa piring kotor. Dia menguap sangat lebar, rambut keriting awut-awutan, bekas iler di sisi mulutnya, dan perut buncit yang mengintip di balik kaos tidurnya. Enggak heran sampai sekarang masih jomlo.
"Hei, Ger, kamu masak mie lagi?" tanyanya dengan muka tak bersalah.
Aku hanya mendesah. Ini sebabnya kenapa aku pengin banget beli mini rice cooker. Akhirnya setelah sarapan dan bekal siap, aku berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor. Pagi ini aku enggak ketemu Kang Asep, dia lagi pulang kampung. Kata Mas Iwan, Kang Asep mau membujuk orang tuanya biar melamar pacarnya yang sudah mutusin dia. Padahal kalau sudah putus ya putus saja. Yah, mungkin itu karena aku belum pernah pacaran sama sekali.
Aku sampai di sekolah pukul tujuh pagi. Masih ada setengah jam sampai bel masuk berbunyi. Begitu sampai lobi, aku baru menyadari kalau tali sepatuku enggak terikat kencang. Aku pun berjongkok untuk mengikatnya. Tapi begitu aku bangun, ada seseorang yang menabrak tubuhku dari belakang. Hampir saja orang itu terjatuh kalau aku enggak secara refleks merangkul tubuhnya. Ternyata Sandra.
Kami berdua saling tatap dalam posisi yang kurang nyaman sebenarnya. Apalagi wajah Sandra tiba-tiba memerah begitu. Cewek itu langsung menepis tanganku dengan kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]
Novela JuvenilRasi Bintang Orion merasa putus asa dengan nilai-nilai akademiknya yang pas-pasan. Gerhana Devaputra murid miskin dan pintar di tengah lautan anak-anak dari keluarga berkelebihan harta. Mereka pun sepakat saling membantu. Simbiosis mutualisme yang p...