Rasi Bintang Orion
Tenagaku benar-benar habis setelah mengatur tim di kelas tadi. Oh, aku sekarang sudah mulai bisa mengatur detak jantung bila berbicara di depan anak-anak. Walaupun sebenarnya aku memikirkan dulu apa yang ingin kukatakan. Aku hanya tak ingin salah bicara, dan merusak semua yang telah kurencanakan ini.
Setelah perdebatan dengan Ethan di TKP tadi mengenai kostum usai, aku duduk di kantin. Huh, gila saja budget segitu habis dalam sekejap. Siapa yang nyusun, sih? Untung ada Gerhana yang mengusulkan untuk sewa dan sisanya dijahit. Mudah-mudahan semua selesai sebelum hari H.
Aku jadi membayangkan kalau saja dari awal Gerhana menjadi wakil acara, pasti sudah beres dari kemarin.
"Ra, nih minum dulu." Justin meletakkan segelas jus stroberi segar di meja, lalu duduk di hadapanku. "Dinginin pikirannya dulu. Gue tahu lo pasti mumet banget ngatur anak-anak itu."
"Thanks, Jazz." Aku menyeruput minuman itu sedikit demi sedikit tanpa menghiraukan lagi ucapan Justin selanjutnya.
Aku teringat dengan kejadian semalam. Tentang Satria. Untuk pertama kalinya dia berbicara dengan Mama setelah dua tahun kelulusan SMA. Mungkin bukan hal spesial untuk mereka yang tidak mengetahui hal sebenarnya. Tapi untukku ini bagai menemukan jarum di tumpukan beras.
Dulu, Mama mengatakan bahwa beliau tak memperbolehkan Satria bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Pendidikan yang didapatkannya sewaktu SMA sudah cukup. Mama akan memenuhi semua fasilitas di rumah untuk Satria. Tadinya aku setuju karena paling tidak dengan fasilitas yang ada, akan membuat Satria terhibur.
Tapi kalau dipikir-pikir, siapa sih yang tahan tanpa bersosialisasi dengan dunia luar? Pasti tidak ada.
Bagus kalau ada yang mengajaknya mengobrol, tapi kenyataannya tidak. Mama sama sekali tidak menegurnya. Menanyakan kabar atau mengecek keadaannya pun tidak.
"Ma, aku mau kuliah."
Suasana hening yang biasa tercipta di saat kami makan berubah menjadi tegang, buatku.
Mama langsung menatap Satria dan bertopang dagu. Tentunya setelah meletakkan sendok garpu dengan kasar. Jelas Mama tidak suka. Ya mungkin sudah saatnya aku juga angkat bicara akan hal tersebut.
"Apa yang kamu butuhin sekarang? Mama penuhi."
"Aku butuh kuliah."
Mama menggeleng dan melanjutkan makannya. "Kecuali untuk yang satu itu. Mama enggak bisa."
"Kenapa, Ma? Mama takut aku enggak bisa ngikutin pelajaran?" Satria menutupi mata kanannya dengan telapak tangannya. Apakah matanya sakit? Oh, setelah mengajak Satria ke sekolah dan mengobrol bersama Ethan beberapa waktu lalu, sesampainya kami di rumah, aku langsung mengecek artikel tentang heterochromia. Terutama penyebabnya.
1. Trauma mata
2. Glaukoma
3. Sedang minum obat tertentu
4. Neuroblastoma
5. Kanker mata
Keningku mengernyit melihat Satria yang menutupi matanya. Apa mungkin di antara kelima penyebab itu ada satu yang dia alami? Aku harus menanyakannya nanti.
"Mama cuma enggak mau kamu jadi bahan ejekan, Satria. Mau dibilang apa nanti kalo sampai teman-teman Mama tahu?"
Aku mendengkus dan menatap Mama. "Mama lucu. Dan sayangnya Rasi baru tahu alasan Mama karena ini. Malu?" Aku tertawa garing sambil melirik ke arah Papa. Siapa tahu Papa akan membantuku juga. Tapi... ah, sudahlah. "Enggak selamanya Abang tergantung ke Mama, kan? Dia udah dewasa, Ma. Abang berhak nentuin jalan hidupnya. Dia butuh bersosialisasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]
Ficção AdolescenteRasi Bintang Orion merasa putus asa dengan nilai-nilai akademiknya yang pas-pasan. Gerhana Devaputra murid miskin dan pintar di tengah lautan anak-anak dari keluarga berkelebihan harta. Mereka pun sepakat saling membantu. Simbiosis mutualisme yang p...