29. YOU'RE NOT ALONE, GERHANA!

22 9 3
                                    

Gerhana Devaputra

Saat itu, aku masih kelas satu SMP, terdengar isak tangis Mama di dalam kamarnya. Karena penasaran, aku berjingkat mendekat, kemudian menempelkan telingaku ke daun pintu.

"Mas harus nemuin si Handoko itu! Dia pasti masih ada di Jakarta sini. Atau paling jauh ke Bekasi dan Depok. Orang itu enggak mungkin pergi jauh! Cari dia, Mas, cari!" tuntut Mama saat itu, setengah berbisik setengah histeris.

"Iya, Ma, ini juga sedang Mas cari ke mana-mana. Mas sampai minta tolong sama Herman dan Panji untuk bantuin cari." Aku enggak bisa melihat ekspresi Ayah, tapi aku yakin kalau beliau sangat kelelahan.

"Lagian kok bisa sih, si Handoko itu megang sertifikat rumah kita? Kok bisa sih, pinjaman uang itu atas nama kita padahal dia yang ngabisin uangnya? Ini ceritanya gimana, Mas?!" Mama benar-benar histeris.

"Sshhtt, tenang, Ma, nanti Gerhana dengar. Sabar ya, sabar.... Pasti semua ini bisa selesai. Mas pasti cari teman Mas itu dan menuntut tanggung jawab."

"Teman kayak gitu?! Kamu itu terlalu baik, Mas, makanya sampai dibohongin kayak gini. Pokoknya aku enggak mau terima! Cari, Mas, cari!" Mama pun menangis sesenggukan, tarikan napasnya terdengar begitu berat.

Di balik pintu, aku mengerutkan alis dan merasa khawatir dengan kondisi Mama. Mama merupakan wanita yang hebat, tapi Mama bukan wanita yang kuat secara fisik. Aku ingin masuk ke dalam, tapi kalau begitu, mereka berdua pasti tahu kalau aku menguping.

Lalu perlahan, tarikan napas Mama terdengar halus kembali, sudah mulai tenang. Aku bernapas lega, kelihatannya Ayah bisa meyakinkan Mama kalau segalanya pasti baik-baik saja. Tapi, aku masih belum paham akar permasalahannya di mana, mungkin karena aku masih kecil saat itu.

Kemudian hari-hari selanjutntya, muncul dua orang asing ke rumah, berbadan besar, berkulit legam, berambut cepak, dan bertampang sangar. Ayah enggak ada di rumah, sehingga Mama yang menerima tamu tersebut. Rupanya penagih hutang. Kebetulan saat itu aku baru pulang sekolah sambil menenteng bola basket.

Mama menyuruhku lekas masuk ke kamar. Aku berpura-pura menurut, padahal tetap menguping di puncak tangga. Sayangnya suaranya enggak begitu jelas. Tapi kelihatannya semua baik-baik saja, karena enggak lama mereka pun pergi.

Kupikir, mereka hanya akan datang sekali. Tapi, sampai berhari-hari kemudian, berminggu-minggu, mereka tetap datang. Enggak nyaris setiap hari, terkadang di seling per tiga hari. Terkadang hari Sabtu datang. Pertengkaran di rumah semakin sering terjadi. Bahkan mereka sudah mulai bertengkar di depan wajahku. Tentu saja hal itu membuatku sedih dan khawatir. Perlahan aku pun paham akar permasalahannya.

Sampai suatu hari, aku melihat Ayah sedang termenung di teras belakang. Beliau enggak menjawab ketika kupanggil. Pun ketika Mama menawarkan makanan. Sudah berbatang-batang rokok habis dihisapnya. Pandangannya nanar menatap entah apa. Hal itu terjadi selama berhari-hari. Selama itu pula, orang-orang itu terus datang dan mengancam beliau. Satu hal yang aku pahami, orang-orang itu suruhan rentenir untuk menagih hutang teman Ayah.

Saat itu memasuki bulan kelima teror yang dialami keluarga kami. Pagi hari ketika aku hendak pergi ke sekolah, Ayah sudah sangat rapi memakai kemeja dan duduk manis di meja makan. Walaupun gurat sedih masih terlihat di wajah Mama, beliau tertawa saat itu, pun dengan Ayah. Kupikir semua masalah sudah selesai.

Ayah bahkan mengantarkan aku ke sekolah dan berpesan kepadaku, "Gerhana, Ayah sayang kamu, jangan lupa itu. Jaga Mama selalu, ya. Bantu Mama. Jadi anak baik. Doakan Ayah. Ayah pasti akan menebus semua kesalahan Ayah kepada kalian. Percaya sama Ayah, ya." Setelah itu, beliau mencium keningku dan memeluk tubuhku dengan erat, padahal kami ada di depan gerbang sekolah.

Aku ingin mendorong tubuh Ayah, karena malu sekali dilihat teman-teman. Tapi entah, saat itu aku membiarkannya saja. Ternyata, itulah terakhir kalinya aku melihat Ayah dan merasakan pelukannya.

***

Tanpa sadar air mataku menetes.

"Gerhana, lo nangis? Ya ampun, lo enggak apa-apa?" Rasi langsung terdengar panik, dia berusaha mencari sesuatu di kantong jaketnya. "Duh, gue enggak punya tisu lagi," gumamnya.

Tapi tiba-tiba, cewek itu bangkit dari bangku taman, berdiri di depan wajahku dan memakai ujung kaos yang dipakainya untuk menghapus air mataku.

"Maaf ya, Ger, pakai kaos gue enggak apa-apa, ya," ucapnya masih terdengar khawatir.

"Ra, kaos lo bersih enggak? Kena kulit gue nanti jerawatan lagi," balasku. Tanpa bisa kucegah aku terkekeh pelan, tapi aku tetap meraih kaosnya untuk menghapus air mataku.

"Iiisshh, bawel banget sih! Udah untung nih, gue mau bantuin ngapus air mata lo. Kan gue khawatir."

"Lo khawatir sama gue?"

"Ya iyalah, lo kan teman baik gue, paling spesial."

Aku tertegun mendengar kata spesial yang diucapkan olehnya. Tiba-tiba saja, hatiku diserang oleh emosi yang campur aduk, sedih, senang, bingung, bahagia menjadi satu. Tanpa bisa kucegah, aku melingkarkan lenganku dan memeluk pinggangnya.

"Eh, Ger, ngapain?" Rasi terkejut.

"Please, biarkan gue dalam posisi ini beberapa saat ya...." Aku membenamkan wajahku di perut Rasi, kaosnya masih harum pewangi pakaian, manis dan menyenangkan, juga... hangat.

Ah, untuk beberapa lama, aku melupakan kalau manusia itu... rasanya hangat dan nyaman seperti ini.

Tapi, setelah beberapa saat, setelah emosi mulai surut dan akal sehat mulai kembali lagi, aku langsung melepaskan pelukanku.

"So-sori, Ra... gue kebawa perasaan. Sori, ya! Jangan marah ya! Gue bukan cowok lancang, kok! Sumpah." Entah harus ditaruh di mana wajahku ini.

Tiba-tiba Rasi menyentuh poniku, kulit kami hanya bersentuhan sedikit, tapi entah kenapa jantungku langsung terlonjak-lonjak seperti sedang lari maraton. "It's okay, Ger, I'm happy to help in whatever way I can."

Untuk beberapa saat, mata kami saling bertemu. Tapi hanya sesaat, setelah itu, suasana kembali canggung.

"Ng..., kalau gitu udah malam, Ra, lebih baik lo segera masuk ke rumah. Nanti gue makin dibenci sama nyokap lo lagi," ucapku.

Rasi tertawa hambar. "Nyokap enggak berhak benci lo. Karena sejauh ini efek yang lo kasih ke gue justru bikin gue bahagia aja, bukan jadi anak nakal kayak yang Nyokap tuduhkan. Tenang aja, Bokap bisa paham kok, beliau selalu dukung gue sama Bang Sat."

Aku tertawa. "Asli, gue masih risih setiap denger lo manggil Bang Sat."

Rasi ikutan tertawa.

"Ya udah, lebih baik sekarang kita fokus aja sama Entrepreneur Day. Gue enggak mau mikirin masalah Bokap dulu. Harus fokus sama masalah di depan muka saat ini."

"Iya, betul, kita harus semangat!" Rasi mengepalkan tangannya dengan ekspresi serius, tapi entah kenapa terlihat menggemaskan di mataku.

Setelah itu, aku mengantarkan Rasi sampai depan pagar rumahnya, dan aku sendiri pun segera melajukan motorku kembali untuk pulang ke tempat kos.

Hari yang panjang dan melelahkan, tapi entah kenapa saat ini, aku enggak merasa sendiri lagi, dan itu menenangkanku. []

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang