RASA NANO-NANO - b

40 33 11
                                    

"Pagi, Gerhana!" Aku menyapa Gerhana ketika berada di koridor menuju kelas. Kami pun berjalan sejajar.

"Pagi, Rasi."

Tak ada bahan omongan pagi ini dengannya. Ah, kenapa aku merasa canggung saat berada di sampingnya sekarang? Ini pasti gara-gara keceplosan tadi deh. Tapi aku pernah dengar kalau keceplosan itu biasanya langsung dari hati. Argh....

Aku masuk kelas terlebih dahulu. Ada Ethan!

"Pagi, Ethan. Udah mandi belum lo?" tanyaku langsung. Langkahku percepat untuk menutupi pipi yang terbakar ini dan duduk.

"Pagi, Ras. Udah dong. Gue kan mau ketemu Jennifer."

Ah, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kuraih botol dingin milik Ethan dan menempelkannya ke pipiku. "Gaya lo ketemu Jennifer. Rambut lo tuh urusin dulu. Lagian juga emang dibolehin sama Justin?"

"Backstreet kami tuh."

"What?"

"Eh, pantesan aja dia bisa sekolah di sini. Koneksinya pemilik yayasan ini. Tapi kok bisa, ya?"

Omongan kelompoknya Sandra terdengar ke seantero kelas. Otomatis aku menatap ke arah Gerhana. Dia terlihat kaku ketika tahu aku melihatnya.

Kalian mau ngegosip enggak usah pake toa kali!

Tentu saja kalimat itu tidak kulontarkan secara langsung. Kalau iya, habislah aku jadi bahan gosip selanjutnya.

"Mungkin anak pembantu di rumah itu."

"That makes sense."

"Itu udah pasti. Apa lagi coba alasannya? Pemilik yayasan ini kan terkenal pelit dan mata duitan banget!"

Mendengar kabar itu membuat dadaku semakin panas. Tidak mungkin Gerhana seperti yang dibilang dua cewek temannya Sandra itu. Dapat gosip dari mana sih mereka? Argh! Bikin tambah runyam saja.

Kuhela napas guna menenangkan diri. Sambil menatap tajam kepada Gerhana, aku beranjak dari kursi dan menghampirinya. Sampai akhirnya aku menariknya keluar. Aku harus mengetahui faktanya sebelum kabar ini menyebar luas. Pasti ada yang memulainya. Tidak mungkin kalau tak ada. Bisa-bisa aku pun tidak tidur nyenyak nanti malam.

Kami berjalan ke taman belakang dengan langkah tergesa.

"Jujur sama gue tentang asal usul lo, Ger!" terorku setelah dia duduk di bangku taman. Sedangkan aku tetap berdiri sambil berkacak di hadapannya. Aku melihat arloji yang melingkar di pergelangan kiriku, pukul 07.00. Masih cukup untuk mendengarkannya.

"Gue enggak pernah bohong sama lo, Ra!"

Aku menggeleng.

"Gue emang sendiri. Ibu udah enggak ada dan Ayah enggak tahu di mana."

Hatiku terhenyak, tapi belum sampai luluh. "Terus?"

"Terus ya gue sempet lontang-lantung di jalan pasca Ibu meninggal. Tapi enggak sampe jerumus ke hal yang negatif."

"Dan?"

"Dan gue ditolong sama Om Baskoro."

"The fact is ...." Aku terus memancingnya untuk terus berbicara.

"Fakta apaan lagi sih, Ra?"

"Ya fakta kalo lo masuk ke sekolah bukan karena beasiswa, lah. Karena gue pikir juga enggak mungkin tiba-tiba ada beasiswa. Murid pindahan aja susah banget masuk sini karena harus tes."

Gerhana mengembuskan napasnya seraya mengambil anak kucing berbulu hitam yang melintas di dekatnya. "Iya gue ngaku deh. Tapi lo jangan marah, ya?"

"Iya dah iya." Kuturunkan kedua tanganku dan mengibas-ngibaskannya. Pegal juga ternyata bertelak pinggang terus. "Gue duduk dulu. Capek."

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang