41. PUZZLE KEBAHAGIAAN

24 15 7
                                    

Rasi Bintang Orion

Jumat. Ah, harusnya hari ini tak usah masuk sekolah. Toh kan cuma classmeet, kan?

Aku menguap lagi dan kembali tertidur di mejaku. Yup, aku sudah berada di sekolah dari pukul enam. Rajin sekali? Oh iya jelas. Sekolah masih gelap gulita, kosong melompong, dan gerbang masih dikunci, aku sudah datang. Rekorku menjadi manusia pertama setelah Pak Satpam membuka gerbang sekolah.

Sebenarnya kepalaku agak sakit lantaran kegiatan seharian kemarin. Tapi karena katanya hari ini pengumuman nilai hasil Entrepreneur Day dan aku yang menjabat sebagai ketua di sini, maka mau tak mau aku harus hadir.

"Good morning, Everyone!" seruan Moana terdengar samar-samar di telingaku. "Eh, seriusan baru Rasi yang dateng? Yang lain mana? Udah setengah tujuh lho ini."

Sudah setengah jam ternyata aku tertidur. Aku ingin membuka mata tapi rasanya tak kuat. Tubuhku pun tiba-tiba tidak bisa bergerak. Mungkin suaraku masih dapat terdengar. "Tolong...," lirihku. "Jessica, tolong...."

Setelah itu aku tak lagi dapat bersuara, tapi aku dapat mendengar.

"Rasi!" Moana mengguncang-guncangkan bahuku. "Rasi, bangun!" Dia menyeret kursi entah milik siapa dan menarikku ke dalam dekapannya. "Bangun, Ras! Jangan bikin gue takut gini dong."

Dia menepuk-nepuk pipiku. "Pucet banget, Ras. Ya Tuhan... ini enggak ada yang dateng apa?"

"Sandra, help!" katanya beberapa detik kemudian. Aku ingin sekali membuka mata, tapi aku lupa caranya bergerak. "Rasi pingsan...."

"Gerhana!" teriak Sandra. Tampaknya Gerhana sudah datang. Tapi aku benar-benar tak bisa bergerak. "Tolongin gue! Rasi pingsan...."

Setelah itu, dunia gelap menghampiriku. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di luar sana atau apa yang terjadi dengan diriku karena aku memasuki dunia memoriku.

"Kakak, Kakak tunggu aku!" Aku berlari dengan langkah kecil dengan kakiku yang mungil. Aku, Rasi Bintang Orion, berusia tiga tahun tengah berlarian di halaman rumah mengejar Satria yang mengambil boneka beruang kesayanganku.

"Cepet ambil sini, Dek. Entar Kakak buang, nih!"

Satria terus berlari tanpa henti. Aku pun terus mengikutinya. Dia berlari sampai ke jalan di luar pagar. Memang sepi di kompleks ini karena masih kompleks baru dan kami penghuni baru di sini, di rumah putih mungil nan sederhana. Cocok untuk sebuah sepasang suami istri yang baru mempunyai dua anak kecil.

Aku terus berlari sampai akhirnya mendengar, "Adek, jangan ke sini! Ada mobil!" Tapi aku tetap berlari, menyusul Satria.

Satria berlari ke arahku dan menarikku ke dalam dekapannya, lalu menyingkir bersamaan. Kami berdua jatuh dan aku menangis. Sedangkan Satria hanya terdiam melihatku diangkat oleh Mama.

Sejak kejadian itu, kami pindah rumah yang lebih besar dan dengan penjagaan yang ketat karena rumah itu terlalu riskan untukku. Satria pun tidak pernah lagi bermain denganku.

"Gimana sih kamu ini?" omel Mama kepada Satria saat pulang usai pengambilan rapor kelas satu SD. Aku yang sedang bermain boneka di ruang keluarga segera keluar. Mama menjewer telinga Satria sampai Satria nenangis. "Baca tulis aja enggak bisa! Buat apa Mama sekolahin kamu?!"

"Ma, maafin Satria...." Satria terus menangis. "Satria janji, Satria bakal belajar rajin buat Mama seneng."

Tapi kejadian itu, terus berulang sampai akhirnya Mama dan Papa berdebat usai melihat hasil evaluasi harian Satria yang tidak ada peningkatan. Satria lebih suka menggambar dan main sendiri saat di sekolah.

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang