44. MASALAH SATU SELESAI MUNCUL MASALAH BARU

23 16 6
                                    

Gerhana Devaputra

Setelah urusanku dengan Pevita beres, masih ada satu masalah yang harus aku selesaikan. Yup, tentu saja dengan Sandra. Aku masih harus menjawab perasaannya.

Tadi malam, pesta selesai jam dua malam, lumayanlah dua jam menghabiskan waktu bersama anak-anak cowok yang sebaya denganku. Aku dan Satria memutuskan untuk pulang. Sisanya menginap di rumah Keanu. Apalagi esoknya hari Sabtu, sekolah libur, dan kegiatan extended class diliburkan semua.

Hari ini, aku sengaja mengambil sif pagi agar sorenya bisa bertemu dengannya. Oleh sebab itu, pukul tujuh aku sudah sibuk di dapur membuat sarapan. Sebenarnya masih kurang puas tidur sih, tapi ya mau bagaimana lagi?

"Lho, Gerhana, Sabtu gini bukannya lo libur?" tanya Mas Budi yang baru masuk setelah joging sejak subuh tadi.

Iya, di antara semua bujang di tempat kos ini, hanya Mas Budi yang kerajinan dan maniak olahraga. Dia bahkan bilang kalau mau berhenti dari tempat kerjanya dan mulai melamar sebagai trainer di sebuah fitness centre. Kerja di EO membuat jadwal tidurnya enggak teratur, begitu pun jadwal olahraganya.

"Gue ngambil sif pagi. Sorenya ada urusan," jawabku sambil terus mengaduk nasi goreng.

"Cieee, malam mingguan ya! Cih, sial, kalau begitu sisa gue doang dong yang masih jomlo!"

Mendengar itu tentu saja aku langsung menoleh, "Emangnya mas Iwan udah punya pacar?" Ya, kalau Kang Asep sih aku enggak aneh. Oh iya, tentu saja saat itu orang tuanya batal datang ke Jakarta, malah Kang Asep yang dijodohin sama gadis desa sana. Katanya sih, cantik, makanya Kang Asep mau.

Nah, kalau mendengar Mas Iwan sudah laku baru deh aku heran. Mas Iwan enggak jelek sih, kalau habis mandi dan pakai kemeja memang berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ganteng berwibawa gitu.

"Mas Iwan pacarnya orang mana?" tanyaku penasaran.

"Oh, katanya sih, rekan kantornya. Ger, gue mau nasi gorengnya dong. Boleh, ya! Laper banget habis joging tadi." Mas Budi menatap penggorengan dengan mata nanar. Segitunya ....

"Ambil aja, Mas. Gue tadi ngabisin nasi yang ada di magic jar. Jadi gue bikin banyak, kok."

"Thank you, mabro. Kayaknya kalau lo pindah dari sini, gue bakalan sedih banget!" celoteh Mas Budi riang langsung mengambil piring.

"Hah, pindah dari sini?"

"Iya, waktu pulang dari acara kafe di sekolah lo kan cerita, kalau bokap lo dateng dan ngajak lo tinggal bareng dia lagi." Mas Budi sudah menyendok nasi dan duduk manis di meja makan bersama diriku.

Ah, iya benar, aku memang sudah menceritakan pada mereka. Mau bagaimana lagi? Mereka bertiga memang sudah seperti abang bagiku. Tempat curhat, diskusi antar cowok, tapi enggak ketinggalan juga ... 'dihina'. Dihina di sini hanya bermaksud untuk candaan. Yah, kalian tahu sendiri candaan anak cowok.

"Gue belum memutuskan sih, mau tinggal sama bokap apa enggak," ucapku. Setelah itu, aku dan Mas Budi mengobrolkan hal lainnya.

Setelah menghabiskan sarapan, aku pun berangkat ke kafe. Enggak lupa mengirimkan pesan singkat ke Sandra kalau aku mau bicara dengannya jam lima sore nanti.

***

Sandra: Ger, sori gue enggak bisa datang ke kafe lo. Sori ya. Lain kali aja.

Begitu sebaris pesan yang aku terima dari Sandra. Duh, enggak bisa. Lain kali belum tentu aku masih ada waktu.

Gerhana: San, gue yg nyamperin lo aja ya. Harus hari ini gue ngomonginnya. Gue tahu rumah lo, kok. Deket Donie kan? Tunggu aja ya.

SIMBIOSIS MUTUALOVE [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang