Lihat bentangan langit biru di atas sana dengan gerombolan awan putih sebagai penghias, ditambah irama angin sepoi yang menyejukkan, mengombang-ambingkan dedaunan. Beberapa orang memilih menghabiskan siangnya sembari membaca buku tebal di bawah pohon di antara, cercahan cahaya yang muncul dari sela-sela daun.
Adapula yang hanya duduk mendengar alunan angin yang menenangkan, sembari mengayunkan kakinya dan wajah yang menengadah.
Sungguh berbeda dengan pria yang mematung seorang diri, pada salah satu gazebo, di tengah hiruk-pikuk kampus.Tetap di sebut cinta, walau apa yang terjadi hanyalah sebatas angan dan tak pernah ada titik temu, membeku dan hambar.
Dan selamanya akan tetap di panggil cinta, walau entah rasa apa yang menghiasi."Cinta."
Gumam pria itu lirih sembari mengusap lembaran yang baru saja ia baca, dari sebuah buku dalam genggamannya, sepertinya Tama masih terkepung risalah hatinya.
Pria itu memejamkan mata, menyandarkan kepala pada penyangga gazebo. Berusaha melupakan esensi yang telah mengacaukan paginya.
Seberapa jauh pria itu membuangnya, pada akhirnya ia kembali memungut kecemasannya itu.Ia merogoh saku kemejanya, lantas mengutak-atik ponsel mencari riwayat chatnya bersama Airin. Ia kembali di gelayuti kebimbangan. Rasanya aneh banget kalo gue tiba-tiba nanya jam tangan.
Tapi rasa ingin tahu itu menggebu, ia butuh jawaban pasti atas risalah yang menggantung di hatinya. Ia kembali menyalahkan dirinya sendiri, jika saja saat itu ia lebih memilih Airin ketimbang presentasinya, ia tak akan se-insecure ini. Nyatanya, kenyataan ini lebih berat dari mengulang mata kuliah, bagi Tama.
Keadaan kampus yang semakin ramai dengan bertambahnya jumlah hilir-mudik para mahasiswa sungguh tak mengusik Tama yang sedari tadi hanya diam, terlalu larut dalam pikirannya.
Tak ada pergerakan kecuali dadanya yang kembang kempis dan kerjapan mata, hembusan napas panjang yang terdengar sesekali.
Satu titik fokus Tama yaitu ponsel yang masih ia genggam.Tanpa menyadari keberadaan Juno yang tengah bersedekap dada, berdiri menyandar pada punggung Gazebo. Menarik napas lepas, Juno menoyor kepala Tama pelan.
"Tiati lo, kesambet penunggu pohon," ujarnya dengan bola mata melirik ke arah pohon tinggi besar di samping gazebo. Lantas duduk berseberangan dengan Tama.
Hening, Tama justru tak merespons ucapan pria yang kini melirik ke arahnya. "Napa lo? Makin udik muka lo."
Tak tertarik, Tama justru kembali menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit gazebo.
"Tam."
"Bukan urusan lo."
"Urusan gue lah, mata gue sakit liatnya."
"Kalo sakit, pergi aja lo."
"Oke," pria itu beranjak, namun nyatanya ia hanya mengitari gazebo. Dan kembali bersandar dengan kedua lengannya pada pembatas gazebo. "Lo laper nggak? Gue laper nih."
"Nggak, gue ngantuk, mau pulang." Tama beranjak dari duduknya, lantas meninggalkan Juno begitu saja. Suasana hati Tama tengah kacau saat ini, kenapa juga Juno datang dan memperkeruhnya. Dadanya terasa sesak, degup jantungnya beritme tak teratur. Dengan gontai pria itu berjalan ke area parkir.
Namun, obsidian legamnya menangkap sosok yang tengah duduk di atas sepeda motor sembari mengutak-atik ponselnya.
Tepat setelah ia berdiri tak jauh dari motor itu, Bella pun menangkap kedatangannya. Ia menoleh sekilas kearah Tama dengan begitu tak pedulinya ia kembali mengutak-atik ponsel.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar Sial
Roman pour AdolescentsTiga serantai yang bersahabat sejak duduk di bangku SMA, lebih tepatnya sejak ketiganya terlambat dihari yang sama, mendapat point dan hukuman yang sama dari polisi sekolah, bermasalah dalam hal asmara. Dan sama-sama menjadi target cinta monyet, Bam...