22. Mood

70 19 18
                                    

BUUKK

Juno yang lima menit lebih awal menyelesaikan hukumannya, kini tengah duduk bersandar memainkan ponsel di ujung sofa. Ia melirik sekilas tumpukan kertas yang Tama letakkan kasar, terkesan membantingnya di atas meja.

Ya, setelah insiden shooting shoes salah sasaran tadi, keduanya berakhir di kantor jurusan yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja, tampak sebelas-dua belas dengan keadaan reruntuhan bangunan akibat gempa.

Terpaksa membuat mereka meninggalkan kelas pertamanya, lebih tepatnya keterpaksaan yang menguntungkan bagi Tama, ia tak perlu repot-repot mencari alasan untuk keterlambatan tugasya, begitu juga dengan Juno yang notabenenya memang pemalas.

"Akhirnya kelar," ucap Tama yang tengah meregangkan otot.

"Bisa nggak sih, jangan langsung ilfeel kalau ada yang mau deket sama, lo? Coba aja kenalan dulu."

Kedua pria itu sontak menoleh ke arah luar kantor, walau sedikitpun tak ada rasa tertarik dengan obrolan dua insan yang terdengar seperti perdebatan.

"Bedain antara ambisi sama egois. Nggak ada yang sempurna di dunia ini."

Tama melirik ke arah pria yang tengah berhenti sejenak, memperbaiki tali sepatunya yang menjuntai.

"Kok, lo sewot sama hidup gue? Yang berambisi gue, kenapa lo yang ribet?" sarkas gadis dengan kuncir kudanya yang berjalan mendahului si pria, sembari asyik memainkan ponsel. Tunggu dulu, sepertinya Tama kenal jaket parasit dengan logo kambing jantan berwarna putih di bagian punggung itu. Sukses membuat dirinya menggigit bibir menyamarkan senyumannya. Ternyata gadis itu masih memakainya.

"Percuma debat sama cewek," gumam pria yang kini melanjutkan langkah kakinya menyusul si gadis menuruni tangga.

"Kayaknya dimana-mana cewek emang dilahirin buat menang deh, urusan bener atau salahnya belakangan," gumam Juno menyahuti, tanpa sedikitpun mengalihkan atensiya.

Tama terdiam, menilik ke arah si gigi kelinci yang masih fokus pada ponselnya, atau lebih tepatnya pada game yang dimainkan. Setelah mengetahui siapa cewek yang baru saja melintas di depan sana, entah kenapa obrolan itu terngiang di telinganya.

Sederet kalimat percaya diri terbentang bebas dalam pikirannya. Akh, buruk sekali, hanya karena sebatas delusi membuatnya berkeringat dingin. Sepertinya ia harus merutuki jaket parasitnya.

Tama menggeleng, mana mungkin hanya karena hal sepele, bisa membuatnya menjadi bahan ghibah-an seorang Bella. Ia mencebik, kala delusinya mengabur begitu saja. Tidak, bukan, tidak mungkin Bella beranggapan bahwa Tama sedang melakukan pendekatan padanya, hanya karena insiden jaket parasit. Namun mendengar penolakan Bella, sisi lain otaknya mulai overthinking, sejelek apa ia dimata gadis berwajah jutek itu, hingga ia menolaknya mentah-mentah. Secara tak sadar Tama memegang wajahnya.

Sekali lagi Tama menggeleng. Tidak, tidak, mereka bukan membicarakannya, lagi pula gadis secantik dia siapa yang tidak suka? Pasti ada banyak pria yang mendekatinya dan mengantre untuk bisa menjadi kekasihnya.

Dan, jika dipikir-pikir lagi, Tama juga tidak merasa tertarik dengan gadis itu, saling kenal saja tidak. Akh, kenapa dia merasa pusing hanya karena obrolan Bella.

"Lo, kenapa, dah?" celetuk Juno, ternyata sedari tadi mengamati perubahan mimik pria yang masih berdiri menatap jendela luar, bahkan tak sempat menyentuh sofa di belakangnya.

"Hah? Gue? Kenapa? Emang gue kenapa?" sahut Tama terbata-bata, jujur ia terkejut dengan pertanyaan Juno yang tiba-tiba..

Juno merubah posisi duduknya sedikit condong ke depan, dengan dua siku ia tumpukan pada pahanya. "Kalo gue perhatiin dari tadi, lo tuh kayak orang ling-lung tau nggak, diajak ngobrol nggak respon, banyak diemnya. Eh, sekarang tiba-tiba kayak orang kesambet lo, cerita kek kalo ada apa-apa."

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang