Dikara berdecak mendengar bel pintu rumahnya yang terus-menerus berbunyi, mengganggu aktivitasnya yang sedang menghisap sebatang rokok- sebelumnya sudah habis sebatang rokok, ini rokok kedua yang terpaksa Dikara matikan di asbak rokok.
Dikara yang tadinya sedang berdiri menatap luar rumahnya melalui jendela kaca besar yang transparan, tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana training yang ia kenakan.
Sepertinya Bi Ira sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam hingga tidak mendengar suara bel yang berbunyi. Tetapi Mang Jajang? Kenapa pria paruh baya itu pergi?
Dikara melangkah, membukakan pintu. Dikara dibuat berdecak melihat wajah bodoh dua orang yang berdiri di luar rumahnya yang tersenyum seperti orang bodoh. Siapa lagi kalau bukan Noah dan Garda- sahabat terbaiknya dari kecil hingga sekarang . "Berisik banget lo pada."
Dikara hendak menutup kembali pintu rumahnya namun ditahan oleh kedua sahabatnya. "Mau pada ngapain?" Tanya Dikara dingin, kesal karena ia pikir ada sesuatu yang penting atau tamu penting. "Malam ini 'kan nggak ada janji kopdar," ujar Dikara.
Garda cengengesan sampai memperlihatkan deretan giginya. "Mau minta makan."
Tanpa permisi, Noah melewati Dikara begitu saja. "Minggir! Uda tau ada tamu bukannya disuruh masuk."
"Siapa yang mau menjamu tamu tidak tahu diri seperti kalian berdua ini?" Tanya Dikara.
Garda juga ikut masuk melewati Dikara begitu saja. "Terima kasih atas pujiannya, Tuan. Mari masuk! Anggap saja rumah sendiri!"
Dikara dibuat geleng-geleng kepala kemudian menutup pintu rumahnya. Dikara menghela nafas melihat tingkah kedua sahabatnya yang benar-benar menganggap rumahnya sebagai rumah mereka sendiri.
Terlihat dari Noah yang malah asyik merebahkan tubuhnya di sofa mahal yang ada di ruang tamu sedangkan Garda sepertinya tujuan pemuda itu datang ke rumah Dikara benar-benar ingin meminta makan- pasalnya Garda kini sedang duduk bersandar di sofa dengan tangan yang memeluk toples berisik kue kering.
Orang kaya memang beda, jika di rumah Garda mungkin toples di ruang tamu hanya berisi keripik pisang atau rempeyek.
Dikara memikul kaki Noah, lantas Noah yang mengerti langsung bangkit dari rebahan yang nyenyak di atas sofa mahal milik keluarga Agung- sehingga Dikara bisa duduk di samping Noah.
"Nyokap sama bokap lo belum balik, Kar?" Tanya Noah.
Dikara menggeleng, menyandarkan punggungnya ke sofa dengan kaki kanan berada di atas kaki kirinya, kepalanya menengadah ke atas melihat langit-langit rumahnya. "Sabtu baru balik," sahutnya.
"Bisa dong kita berdua tidur di sini," ujar Garda semangat. "Ya nggak, No?"
Noah mengangguk. "Boleh juga tu."
Dikara berdecak menolah pada Noah yang duduk di sebelahnya. "Kakak lo gimana?"
"Dia uda gede, bisa jaga dirinya sendiri."
Dikara tak lagi menyahut setelah mendengar jawaban dari Noah.
Noah memang sudah tidak memiliki orang tua lagi, ibunya meninggal lima tahun yang lalu kemudian disusul ayahnya yang meninggal tiga tahun setelah kepergian ibunya. Noah hanya tinggal dengan kakak perempuannya- tinggal di rumah peninggalan orang tuanya.
Bekerja di salah satu perusahaan agensi- menanungi para artis-artis terkenal. Kakak perempuannya Noah bekerja sebagai salah satu staf di sana.
Mungkin ada ratusan kali, sang kakak membujuk Noah dan kedua sahabat adiknya itu untuk ikut bergabung dengan agensinya barangkali hanya menjadi model untuk iklan dan endors. Pesona ketiganya sayang untuk dilewatkan- namun ketiganya tampak tak tertarik dalam bidang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Dikara
Teen FictionKepindahan 3 orang siswa dari SMA Garuda ke SMA Merdeka membuat kehebohan di SMA Merdeka, ada rumor yang mengatakan bahwa 3 siswa itu adalah anggota geng motor, membuat beberapa siswa takut dan kagum di waktu yang bersamaan. Cover and pictures in th...