Irena hanya diam, menatap Ezra yang berdiri di hadapannya. Setengah tubuh laki-laki itu disandarkan di pagar coklat yang menjulang tinggi di samping mereka.
Ezra baru saja mengantarkannya — memaksa — pulang, sehabis mengerjakan kelompok bersama Gerhana di salah satu kafe dekat sekolah.
"Aku mau masuk," ujar Irena dan menunjuk ke arah pagar yang dihalangi oleh tubuh Ezra.
Tidak ada satpam, karna adzan isya baru saja berkumandang dan Pak Samsul mungkin sedang bersiap untuk melakukan sholat isya.
"Iya nanti dulu," sahut Ezra, tatapannya masih lekat menatap ke arah Irena yang ada di hadapannya. Senyum laki-laki itu terbit, hanya sebatas garis tipis namun masih terlihat tampan di mata Irena.
Gadis itu mengerutkan kening saat Ezra mengambil tangan kirinya, menggenggamnya dan mengelus punggung tangannya dengan lembut.
"Kalau gue pilih Selena, apa yang akan terjadi sama lo?"
Irena yang baru saja memperhatikan tangannya kembali mendongak, menatap Ezra yang juga menatapnya.
Keduanya sama-sama diam. Baik Irena yang belum bisa menjawab, dan Ezra yang tidak mengatakan apa-apa. Laki-laki itu menunggu jawaban yang akan gadis di hadapannya lontarkan.
"Gak ada," sahut Irena yang jelas berbohong. Tapi bagaimana. Dia tidak bisa memaksa Ezra untuk memaksanya bersama dengannya kan. Gak akan bisa.
"Kalau gue pilih lo. Apa yang juga akan terjadi sama Selena?" Ezra bertanya lagi dan membuat kening Irena mengerut.
Punggung tangannya merasa dielus kembali, dengan lembut menggunakan jempol Ezra.
"Gak tahu," sahut Irena sekenanya, yang memang dirinya tidak tahu. Mungkin saja Selena akan menangis dan membencinya, atau mungkin kembarannya itu dengan cepat mendapatkan pengganti Ezra. Karna mengingat apa yang diinginkan Selena selalu menjadi milik kembarannya.
Ezra menunduk sebentar, kemudian kembali mendongak. Menatap manik coklat gelap di hadapannya. Tubuhnya bergerak untuk berdiri tegap, dengan tangan kiri yang mulai mengambil tangan kanan Irena. Menggenggam kedua tangan gadis di hadapannya.
"Sorry," ujarnya dan membuat Irena mengerutkan kening tidak mengerti. "Kayaknya gue lebih suka sama Selena."
Oke. Gak papa. Itu keputusan Ezra. Irena tidak bisa memaksa dan merubahnya.
Tapi kenapa dadanya menjadi sesak begini. Hidungnya menjadi gatal, dan kedua matanya mulai memanas. Padahal apa yang Ezra katakan sekarang merupakan keputusan yang sedari dulu Irena tunggu dan nantikan.
Gadis itu tersenyum dan melepaskan kedua tangannya dari Ezra. Selangkah mundur dengan kepala yang mengangguk pelan.
"Gak papa," sahut gadis itu. "Makasih udah kasih keputusan yang mungkin buat Kak Ezra berat untuk mengambilnya," sambungnya kemudian menatap ke arah pintu rumah yang terbuka. Menampilkan Selena yang memakai crop top putih dan celana panjang kulot hitam. "Aku mau masuk, sampai ketemu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Heartbreak
General FictionCERITA 7 • • • Pilihan Irena cuma satu. Terus berjuang ... atau rela berkorban. Tapi mau sampai kapan dirinya harus mengorbankan segalanya hanya untuk Selena? Kembarannya. Sampai dia harus terjun dari lantai lima belas gedung Selena, atau sampai dia...