Belum usai permasalahan hati dan pikirannya. Sekarang Irena ditambahkan beban pusingnya lagi, saat mendengar Dokter Elshinta yang ternyata adalah Ibu kandung Ezra.
Tidak pernah terbayangkan bagi Irena jika Dokter mentalnya itu adalah Ibu kandung Ezra.
Gadis yang sedang merebahkan badan di atas sofa dengan kaki di atas badan sofa dan kepala di bawah hingga menyentuh bantal yang sengaja dia letakkan di atas lantai itu, menatap televisi yang menyala dalam posisi terbalik.
Kemudian kedua bola matanya melotot, mengingat sesuatu. "Berarti selama ini gue curhatin, ghibahin, caci-maki Kak Ezra di depan Ibunya sendiri?" Irena mengusap wajahnya gusar. "What the f*ck."
Makin pusing sudah kepala Irena. Gadis itu merasa dunia membohonginya. Dan terlalu memberikannya banyak plot twist akhir-akhir ini.
Jika hidup Irena dulu suram dan sunyi. Tanpa ada hal yang menarik untuk dibahas. Maka kali ini berbeda. Hidupnya benar-benar menarik. Benar-benar berisik hingga membuat kepalanya ingin pecah sekarang juga.
Irena memejamkan matanya, indera pendengarannya menelisik suara yang dihasilkan dari televisi yang menyala. Dan suara India dari film Dilwale yang dia tonton dalam salah satu stasiun televisi Indonesia menusuk indera pendengarannya.
Sebelum suara lain datang. Suara bel apartemennya.
Gadis itu membuka pejaman mata, mengerutkan kening dan melirik jam dinding yang berada di samping. Tergantung indah dengan ditemani bingkai foto dirinya dan Gerhana.
Pukul delapan malam. Rasa-rasanya malam ini Irena sama sekali tidak ada janji dengan siapapun. Dan siapa yang bertamu di jam segini.
Gadis itu menarik diri, menundukkan dirinya di atas sofa dalam keadaan memunggungi televisi. Menatap pintu apartemennya yang kembali menghasilkan bunyi bel yang memaksa untuk dibukakan.
Dengan malas dan sehabis mengucir rambutnya dengan asal. Gadis itu melangkah menuju pintu, tanpa menatap ke arah lubang kecil yang berada di tengah pintu tersebut.
Kening Irena mengkerut, saat kepalanya menyembul dan hanya membukakan pintu sedikit.
Menatap laki-laki dengan kemeja hitam, celana panjang, dan sepatu kulit. Penampilan yang sama ketika mereka berangkat kerja tadi pagi.
Kemudian Irena semakin membuka pintu lebar, namun hanya selebar badannya saja. Menatap laki-laki di hadapannya yang tersenyum dengan sebelah tangan yang menenteng paper bag kecil.
"Udah makan belum?" tanya laki-laki itu dan Irena menganggukkan kepalanya. "Aku bawa martabak dari pasar lama di Tangerang. Kamu mau nyobain gak?" tawarnya dengan menyodorkan paper bag yang ada di tangannya.
Irena mengambilnya, kemudian menatap Ezra yang masih berdiri di hadapannya. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana.
"Pulang aja ya, Kak. Aku gak mau kejadian tadi pagi tiba-tiba Bang Avin sama Hana dateng lagi," kata Irena dan Ezra tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Heartbreak
General FictionCERITA 7 • • • Pilihan Irena cuma satu. Terus berjuang ... atau rela berkorban. Tapi mau sampai kapan dirinya harus mengorbankan segalanya hanya untuk Selena? Kembarannya. Sampai dia harus terjun dari lantai lima belas gedung Selena, atau sampai dia...