dua puluh

109 6 0
                                    

Dalam waktu seminnggu Kay terus memikirkan permintaan Cilo. Banyak hal yang ia pertimbangkan, mulai dari perasaannya terhadap Adam yang belum hilang, bagaimana perasaan Dityo, dan bahkan respon orang tuanya. Setidaknya ia harus mencari jawaban dari pertimbangan-pertimbangan tersebut. Untuk pertimbangan pertama, Kay tidak terlalu memusingkan, toh Adam tidak mungkin berubah setelah ia diamkan hampir sebulan ini.

Apalagi laki-laki itu belum sama sekali menghubungi dirinya semenjak hari pertengkaran mereka. Sudah dapat dipastikan jika Adam tidak mengharapkan akan ada yang berubah dalam hubungan mereka Sejujurnya, Kay hampir menyerah untuk menghubungi Adam. Tapi Kay masih merasa belum siap, hatinya masih terlalu sakit untuk memaafkan Adam.

Jadi hari ini Kay memutuskan untuk mencari jawaban dari pertimbangan kedua. Ia ingin tahu pendapat Dityo tentang permintaan Cilo. Mungkin dengan pendapat dari Dityo, Kay bisa memastikan untuk menerima atau menolak permintaan Cilo dengan alasan laki-laki itu. Kay tersenyum memikirkannya, setidaknya jika alasannya menolak permintaan Cilo karena ayahnya, Cilo tidak akan mungkin membenci Kay.

Selama seminggu ini juga Kay menghindari kontak dengan Dityo, Kay tidak paham juga mengapa pria itu justru semakin ingin akrab dengannya. Tapi Kay menganggap hal itu hanya cara pria itu berterima kasih atas semua yang sudah Kay lakukan untuk Cilo. Tetapi karena alasan permintaan Cilo, Kay selalu menolak ajakan laki-laki itu untuk berangkat dan pulang kerja bersama.

Pulang kerja ini, Kay memutuskan menerima tawaran Dityo. Kay mengajak Dityo untuk nongkrong di coffeshop langganannya. Untungnya pria itu setuju saja dengan ajakan Kay. Kay membuka pintu kafe lalu terdengar sapaan.

"Hai mbak Kay udah lama gak kesini, gak sama mas Bima?" tanya Putra, barista yang akrab dengan Kay

Sapaan Putra justru dibalas pelototan oleh Kay, lelaki itu meneguk ludah lalu menggumamkan kata sorry.

Mereka memutuskan untuk duduk di spot favorit Kay, meja dengan dua kursi yang berada di sudut ruangan dengan rak buku di sebelahnya. Biasanya Kay dan Bima kesini hanya untuk berdiskusi tentang pekerjaan dan butuh dosis dari kopi. Sesekali ia juga mengajak Liza jika wanita itu punya waktu untuk nongkrong dan tak langsung pulang karena dijemput suaminya.

"Mau pesen apa?" tanya Kay

"Biar saya yang pesan" ucap Dityo

"Gak masalah, kan saya yang ajak mas kesini" ucap Kay

Dityo menyandarkan punggungnya di kursi "Kamu takut saya diinterogasi sama barista itu?"

Kay bingung kemudian bertanya "Tentang?"

"Kenapa mengajak saya alih-alih lelaki yang bernama Bima itu" ucap Dityo santai

Kay mengedikkan bahu "Gak juga, saya gak pernah peduli tentang pendapat orang terhadap saya"

"Anyway, jadi maunya pesen apa?" tanya Kay lagi

Dityo hanya tersenyum "Espresso double shoot"

Kay mengerutkan alisnya "Mas yakin?"

Dityo mengangguk "Kebetulan malam ini saya harus bergadang untuk memeriksa beberapa project"

Kay manggut-manggut lalu bangkit dari kursinya "Oke saya pesen dulu"

Lalu Kay berjalan menuju meja kasir untuk memesan. Kay tampak berbincang asik dengan barista itu. Kay memang sosok yang ramah dan mudah akrab dengan orang lain, ia bisa dengan mudah mendapatkan teman. Dityo kadang merasa perbedaan generasi dirinya dan Kay begitu terasa, padahal jarak umur mereka hanya enam tahun. Kay terlihat masih bisa masuk ke circle anak-anak muda sedangkan dirinya, sudah tampak serius dan kaku.

The Little MatchmakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang