54 (END?)

564 62 1
                                    

.......

"Arnav sudah tidak sakit lagi.."

Penuturan dari Melody berhasil membuat Cindy terjatuh, namun dengan sigap Jinan menahannya.

Cindy tak sadarkan diri, beberapa perawat disana membawa Cindy ke atas brankar dan membawanya ke IGD.

Sedangkan Jinan masih mematung dan memberi tatapan penuh harapan kepada Melody. Melody meneteskan air matanya dan memegang bahu Jinan.

"Arnav sudah cukup kuat melawan sakit yang dideritanya, dan kami didalam juga sudah berusaha yang terbaik untuk Arnav" ucap Melody.

Kemudian keluarlah Arya dari ruangan dan memeluk adik iparnya yaitu Jinan, Arya juga menangis. Jinan masih diam namun matanya sudah berkaca kaca.

"Arnav anak yang kuat Ji" lirih Arya melepas pelukannya.

Jinan menatap Arya dan Melody.

"Terimakasih sudah barusaha" ucap Jinan tulus sambil menahan tangisnya.

............

Banyak yang ada namun akan kembali pada yang maha kuasa, menyambut dirinya saat lahir kedunia dengan tangisan yang membahagiakan hati banyak orang....tangisan itu harus kembali datang namun memiliki rasa yang berbeda.

Jinan berdiri di rooftop dan memandangi suasanan perumahan di sore hari.

"Saya memiliki menantu seperti kamu adalah sebagian anugrah dari Tuhan, kamu menjaga putri saya dengan sangat baik, mencoba memperbaiki diri kamu sendiri untuk keutuhan keluargamu adalah bentuk bahwa saya begitu percaya kamu adalah lelaki yang hebat...terutama menjadi seorang Ayah"

Jinan menoleh kebelakang dan melihat Papa mertuanya yang berjalan menghampiri menantunya.

"Saat lahirnya Eve, Altezza dan Arr...Saya bisa melihat kamu yang begitu sigap disetiap saat...bolak balik dari ruangan Cindy ke ruangan khusus bayi untuk mengawasi, bahkan Cindy cerita sama saya...kamu kerap menangis merasa bersalah setiap kamu mengingkari janji yang telah kamu ucapkan kepada anak anak...tetapi kali ini saya begitu heran sama kamu"

Jinan menatap Papa mertuanya dengan bingung.

"Kenapa Pa?" Tanya Jinan pada lelaki bernama Pramoedya.

Pramoedya menepuk kedua bahu menantunya.

"Saya mewajarkan jika kamu ingin menangis Jinan.."

Pramoedya begitu mengerti apa yang dirasakan Jinan, Jinan masih diam.

"Menangislah, saya mengerti bahwa menjadi kamu itu sulit...tetapi untuk berpura pura  kuat diposisi saat ini jauh lebih sulit karna akan menyiksa dirimu sendiri" tutur Pramoedya kemudian meninggalkan Jinan sendiri.

Jinan memejamkan matanya hingga...

Sebuah buliran air mata keluar dari kelopak matanya, Jinan menangis... isakannya mengisi rooftop berangin ini, Jinan ingin sekali berteriak bahwa ia adalah Ayah yang buruk.

Jinan memukul kepalanya sendiri.

"Arr...maafin Papi" Jinan menjatuhkan dirinya, ia duduk dan bersandar di tembok rooftoop.

Disisi lain, Cindy baru saja tertidur setelah menangis seharian. Widya mengusap lembut kening Cindy, Widya dapat merasakan sakitnya menjadi seorang Ibu yang kehilangan anaknya...karna Widya pun pernah merasakan ini lebih tepatnya saat perginya Kakak kedua Cindy yang belum pernah ia ceritakan pada Cindy.

Sepasang mata memperhatikan tidur Maminya.

"Loh Za kenapa belum tidur?" Tanya Widya pada cucunya.

Altezza menggeleng dan mendekat pada Widya.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang