SALSABILA

143 7 2
                                    

Salsabila

Perkenalkan namaku Salsabila. Iya, hanya Salsabila, tak ada kelanjutannya. Nama itu diberikan oleh Bapak dan Mama karena terinspirasi dari nama orang paling kaya di kampung kami. Bu Salsabila, pebisnis yang sudah bolak-balik ke tanah suci dan Negara-negara lainnya. Biasa? Tidak, itu tidak biasa di kampungku. Ia adalah orang yang sangat terpandang di kampung kami. Bisnis ayam potongnya di mana-mana dan uangnya mungkin tak akan habis sampai tujuh turunan. Ia sangat sempurna di mata orang kampung. Cantik, cerdas, mandiri, dan tentunya kaya raya. Namun satu kekurangannya, ia belum menikah di usianya yang sudah lima puluh tujuh tahun.

Kata Mama, aku termasuk orang yang beruntung mendapatkan nama indah yang sama dengan nama Bu Salsabila, kelak Mama yakin aku akan menjadi orang yang kaya. Bagiku, aku sedikit beruntung dibandingkan teman-teman se-angkatanku. Ya, karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pendidikan, orang tua di kampungku pada zaman dahulu memberikan nama sesuai kondisi saat si bayi dilahirkan. Contohnya, teman sebangkuku saat SD, namanya Petir. Ia dilahirkan saat petir berbunyi sangat kencang. Ada lagi yang namanya Enam, karena ia dilahirkan pada tanggal enam, sesederhana itu. Namun, risiko memiliki tokoh kaya raya di kampung membuatku batal beruntung mendapatkan nama 'Salsabila', karena tiga di antara sepuluh perempuan di kampung memiliki nama yang sama denganku. Benar, sangat tidak beruntung! Aku pernah salah paham dan dibuat malu bukan kepayang hanya karena memiliki nama 'Salsabila'. Kesialan itu kudapatkan ulah tetanggaku yang sangat inisiatif, namanya Dono, aku yakin semua orang bisa menebak alasan ia diberikan nama itu. MUHAMMAD DONO KASINDRO telah membuatku trauma pada cinta, karena ia mengantarkan surat cinta salah alamat berkali-kali kepadaku. Saat menerima surat cinta yang kukira milikku itu, aku sangat bahagia. Tak bisa dipungkiri surat cinta masa remaja yang diberikan oleh teman Dono membuat hari-hariku sangat indah. Sialnya, surat cinta itu ternyata salah alamat. Sementara, aku telah jatuh ke dalam cinta.

"Maaf Bil, ternyata surat itu untuk Kak Salsabila yang ada di depan rumahku," kata Dono.

"Terus?" tanyaku patah hati.

"Yaudah, nggak papa ya Bil. Sabar ya!" katanya lagi tanpa merasa bersalah.

Dono berlalu begitu saja dan meninggalkanku yang patah dan hancur. Sejak saat itu, kisah cintaku tak semulus kulit wajahnya Jisoo Blackpink. Umurku hampir dua puluh lima tahun, dan aku masih jomblo.

"Salsabila Nur Dini yang di RT 6 sudah menikah di kota Dek kemarin," kata Mama random menghampiriku.

"Terus?" tanyaku cuek sambil mengoreksi kertas jawaban siswa.

"Salsabilawati yang di RT 3 juga bulan depan mau menikah Dek," jawab Mama lagi.

"Terus kenapa Ma?" tanyaku mulai naik darah.

"Ya, terus, Salsabila di rumah ini kapan? Bukannya kamu janji sama Mama mau menikah sebelum umur dua puluh lima tahun? Kamu mau perawan tua seperti Bu Salsabila?" sabda Mama tanpa melihat luka di hatiku yang sudah berdarah-darah. Aku masuk ke kamar tanpa berkata-kata.

"Lah, salah ya aku?" tanya Mama ke Bapak tanpa merasa bersalah.

"Nggak salah, cuman kurang peka," jawab Bapak dan meninggalkan Mama di ruang tamu sendirian.

Bapak menghampiriku yang sedang berusaha mengalihkan gejolak emosi dalam diriku. Ia duduk dan memegang bingkai foto di atas meja. Bingkai foto yang sudah sangat lama dibiarkan begitu saja, fotoku dan Elvi Sukaesih, kakakku.

"Bapak itu sebenarnya berharap sekali kalau kamu bisa jadi PNS, sama seperti kakakmu," kata Bapak. Bisa-bisanya, Bapak datang dan menambah beban di otakku. Baru saja Mama mempertanyakan kapan aku akan menikah dan sekarang Bapak juga ikut-ikutan meragukan pekerjaanku saat ini.

Ya, aku hanya guru honor SMA dengan gaji yang tak seberapa. Aku adalah Sarjana Ekonomi, tetapi alih-alih ingin menjadi pengusaha seperti Bu Salsabila, ujung-ujungnya aku menjadi guru. Siapa bilang aku tidak menyesal pernah menuliskan cita-cita menjadi guru saat masih SD? Aku sangat menyesal! Teman-teman kuliahku hampir semua berhasil dalam kariernya, sementara aku hanya menjadi seorang guru honorer. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa menjadi guru adalah profesi yang sungguh luar biasa, ladang pahala untukku. Aku menikmatinya, walaupun aku tak bisa memberikan banyak hal untuk Mama dan Bapak karena gaji yang terbatas.

"Jangan salah paham, Bapak hanya ingin yang terbaik untukmu. Kalau kamu jadi PNS, hari tuamu akan terjamin dan tidak akan seperti bapakmu ini, kerja serabutan. Jangan salah paham juga dengan Mama, Mama hanya khawatir kalau nasibmu sama dengan Bu Salsabila karena memiliki nama yang sama," kata Bapak menjelaskan.

"Kalau takut anaknya perawan tua, lalu kenapa aku diberi nama Salsabila?" tanyaku mulai menangis. Aku sangat putus asa, perkara nama saja membuat hidupku sangat tidak tenang.

"Kamu salah paham Dek, nama Salsabila diberikan padamu bukan karena Bu Salsabila orang kaya di kampung ini, bukan juga kami mendoakan Adek menjadi perawan tua, tak ada sangkut pautnya dengan Bu Salsabila. Nama tak sesederhana itu diberikan kepada anak. Salsabila itu artinya mata air surga, orang tua yang memberikan nama ini berdoa agar anaknya menjadi pekerja keras dan mau berjuang mengejar mimpi. Bapak masih ingat, Adek waktu kecil ingin sekali menjadi PNS....," kata Bapak lalu terdiam sesaat. Aku mengerutkan kening, apa benar aku dahulu ingin menjadi PNS? Bapak sepertinya mengada-ada.

"Iya, PNS. Bapak dahulu sering cerita ke kalian, kalau Bapak ingin sekali anak-anaknya jadi PNS. Kakakmu, Elvi paling tidak mau mewujudkan cita-cita Bapak itu. Dan, hanya Adek yang selalu bilang ke Bapak 'Adek aja Pak yang jadi PNS nanti'. Sekali saja Dek, coba ikut tesnya sekali saja," pinta Bapak. Muka Bapak memelas. Keriput di wajahnya terlihat jelas, kulit mengkilap karena terbakar cahaya matahari, dan tulang menonjol di bahunya membuatku semakin kasihan dengan Bapak. Benar, ia sudah tua sekarang. Lalu, sampai kapan aku harus bergantung kepadanya dengan gaji yang tak banyak. Makan, minum, listrik, bahkan cucian semua menjadi tanggung jawab Bapak dan Mama. Aku tak pernah mencuci pakaianku sendiri semenjak bekerja, bahkan Bapak selalu membelikan nasi kuning untuk sarapanku sebelum ke sekolah. Aku tak menyadari itu dan masih santai merepotkan mereka.

"Iya, nanti Adek coba," kataku berusaha menyenangkan Bapak. Wajah Bapak semringah, keriput di wajahnya dengan ajaib menghilang. Ia seperti lebih muda dua puluh tahun setelah mendengar kata-kataku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa orang tua sangat bahagia jika anaknya menjadi seorang PNS?

"Ngomong-ngomong Bapak tahu dari mana arti nama Salsabila? Bapak hebatnya kebangetan," kataku memuji Bapak yang beranjak pergi meninggalkanku.

"Sebenarnya, waktu kamu lahir. Bu Salsabila yang memberi langsung nama itu untukmu dan menjelaskan arti namanya," jawab Bapak menghentikan langkah kecilnya sambil tersenyum bangga. 

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang