ALULA

69 6 0
                                    


Alula

Alula, itu namaku. Aku anak ke dua dari lima bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Entah apa yang menginsipirasi ayahku saat memberi nama itu padaku, bukannya alula bermakna pertama? Sementara aku adalah anak ke dua. Itu masih menjadi misteri yang tak perlu dipecahkan. Ayahku adalah pensiunan PNS dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa. Walaupun hidup di kota besar, hidup kami sederhana dan biasa saja. Aku dilahirkan, dibesarkan, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai kuliah di kota ini. Aku tak pernah mau beranjak meninggalkan Ayah dan Ibu sedetik saja, karena bagiku di dalam tatanan keluarga kecil kami, aku harus bisa menjadi solusi bagi mereka. Kebahagian Ayah dan Ibu adalah kebahagiaanku dan sebaliknya kesedihan mereka adalah kesedihanku.

"Lula, apa nggak capek Nak belajar semalaman?" tanya Ibu menghampiriku di ruang tamu.

"Ini tes CPNS Lula yang ke lima kalinya Bu, Lula harus lolos," jawabku. Ibu duduk di sampingku. Aku melihat jam dinding tua di rumah kami. Pukul 02.00 dini hari, ternyata tak terasa aku belajar semalaman demi melanjutkan mimpi-mimpi Ayah untuk mengabdi pada Negara.

"Kamu juga butuh istirahat Lula. Jangan memaksakan diri juga, nggak apa juga kalau tahun ini belum lolos," kata Ibu menepuk pundakku.

"Nggak Bu, kali ini pasti bisa. Jangan khawatir Bu, Lula pasti bisa. Lula ingin bantu-bantu keuangan keluarga juga. Kasihan Ayah sudah pensiun masih membayar uang kuliah Kakak dan Adik-adik," jawabku.

Ayah pensiun satu tahun lalu, sementara Kakak bersikeras ingin melanjutkan kuliah magisternya, adikku yang pertama baru masuk kuliah di universitas swasta, adikku yang ke dua baru saja masuk SMA, dan untungnya adikku yang ke tiga masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Satu-satunya yang bekerja di rumah ini adalah aku. Aku bekerja di salah satu bank swasta sebagai customer service. Ya, lumayan gajinya namun aku masih tak mau putus asa untuk menjadi seperti Ayah, menjadi PNS. Tahun ini adalah tes ke lima yang akan aku ikuti. Sejak kuliah, aku sudah mengikuti tes CPNS mengambil formasi lulusan SMA namun selalu gagal. Dan, tahun ini aku yakin pasti berhasil.

"Kamu juga butuh tidur. Besok bukannya harus kerja?" kata Ibu. Aku mengangguk dan menutup buku UUD 1945 yang hampir satu bulan kuhafalkan. Jangan ditanya, aku sudah hafal pasal demi pasal dan ayat demi ayat dalam UUD 1945. Pemahaman? Ya, aku sangat paham maknanya. Bukan sekadar menghafalkannya saja, aku bahkan menonton banyak video di YouTube yang membahas tentang UUD 1945. Simulasi? Hampir tiap hari aku mengerjakan simulasi tentang wawasan kebangsaan. Sejarah? Dari zaman sebelum penjajahan, masa penjajahan, hingga pascapenjajahan sudah aku baca. Bahkan, prasejarah pun ikut kupelajari. Saking seringnya belajar tentang sejarah, aku sering bermimpi tentang zaman kerajaan di Indonesia. Ekstremnya, kata Kakak aku sampai mengigau berbicara ala-ala kerajaan yang sering ditayangkan di Indosiar atau MNC. Bayangan seperti apa lagi yang muncul dalam ingatan bawah sadarku selain latar kerajaan seperti tayangan sinetron Indosiar atau MNC. Walaupun kadang di luar nalar atau berbeda dengan sejarah yang sebenarnya, ingatan masa kecil tentang tontonan itu sangat melekat. Aku masih ingat bagaimana Misteri Gunung Merapi membuatku sangat terobsesi. Kisah cinta Farida dan Sembara yang diuji dan direcoki oleh Mak Lampir membuatku ingin membanting TV di rumah saking sebalnya. Siapa sangka gunung merapi yang dimaksud bukanlah gunung merapi yang ada di Jawa Tengah, selama ini aku berpikir bahwa legenda itu berasal dari pulau Jawa. Namun ternyata legenda Mak Lampir berasal dari gunung marapi di kabupaten Agam Bukit Tinggi Sumatera Barat.

Pada intinya, aku sudah sangat siap untuk mengikuti tes CPNS tahun ini. Aku siap untuk Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Intelegensia Umum (TIU), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Aku tinggal menunggu pengumuman resmi tes CPNS saja.

"Loh, Kakak belum tidur?" tanyaku saat masuk ke kamar. Aku melihat kakakku ternyata masih sibuk dengan laptopnya.

"Ngerjain tesis Lula. Kamu pikir aku nggak sayang sama Ayah? Aku juga ingin cepat-cepat lulus dan bekerja di perusahaan besar," jawab kakakku. Aku hanya mengangguk dan tak meladeni pembicaraannya. Aku tahu karakter Kakak, ia sangat keras kepala dan tak mau mengalah. Meski begitu, ia adalah anak yang paling cerdas di antara kami. Wajar jika ia punya ambisi yang lebih dibandingkan kami. Ia tak pernah mengeluh dengan kondisi keluarga dan terus mengejar apa yang ia sukai. Ia adalah orang kepercayaan Ayah. Segala macam kesulitan keluarga, Ayah tumpahkan semuanya kepada Kakak. Walaupun Kakak tak memiliki solusi, tetapi bagi Ayah yang penting Kakak tahu masalah internal keluarga sebagai anak tertua di keluarga kami.

"Kejar apa yang kamu sukai La, bukan apa yang Ayah sukai," kata Kakak tiba-tiba, "meski aku tahu kamu orang yang nggak pernah marah dan mengeluh pada Ayah dan Ibu. Tetapi, kamu pantas untuk hidup dengan caramu sendiri, it's Ok kalau kamu mau jadi PNS, but itu kemauan kamu sendiri bukan kemauan Ayah, " lanjutnya.

"Apa sih," kataku lalu buru-buru berbaring di kasur. Aku tak mau memulai perdebatan lagi.

"Dunia pekerjaan itu luas, nggak hanya menjadi PNS, ikut tes berkali-kali. Apa kamu nggak capek?" lanjutnya. Namun aku tak memperdulikannya, aku menutup wajahku dengan selimut, dan mencoba untuk tidur. 

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang