SAYAP BURUNG

42 5 0
                                    

Alula

"La, jangan melamun. Ayo makan! Ujian CPNS sudah satu bulan berlalu, nggak usah dipikirin terus-terusan," kata Ibu.

AKU GAGAL. Semua soal tes CPNS tahun ini serba baru, polanya tak sama dengan yang lalu. Padahal tinggal lima poin lagi skor Tes Karakteristik Pribadi (TKP) mencapai passing grade. Hampir semua peserta yang tak mencapai passing grade bermasalah pada skor TKP-nya, termasuk aku. Aku benar-benar yakin akan lulus tahun ini, tiba-tiba soal CPNS berubah total. Waktunya terasa semakin sempit sementara teks bacaannya sangat panjang. Aku panik dan semuanya hancur berantakan. Mimpi Ayah benar-benar pupus di tanganku.

"Ayah, maaf Lula nggak lolos lagi," kataku menghampiri Ayah yang sedang makan bersama Ibu. Kata-kata itu sudah ratusan kali kuucapkan sejak aku tak lolos satu bulan lalu.

"Kenapa harus minta maaf La? Sudah nda masalah Nak," kata Ayah padaku. Aku merasa bersalah pada Ayah dan aku tahu Ayah sedikit kecewa padaku. Aku menunduk dan air mataku jatuh di atas nasi yang Ibu hidangkan. Kulahap nasi itu sambil menangis, aku bosan terus-terusan gagal, aku lelah. Lima kali aku mengikuti tes CPNS dan lima kali pula aku gagal. Apa aku sebodoh itu sampai tak bisa lolos? Apa aku semalas itu untuk belajar sehingga orang lain bisa dengan mudahnya lolos sementara aku tidak?

"Zaman sudah berubah La, dulu di zaman Ayah menjadi PNS itu gampang. Kalau Ayahnya PNS pasti gampang sekali anaknya menjadi PNS. Tetapi itu dulu La, sekarang jadi customer service di bank juga menjanjikan kok," kata Ayah menghiburku. Aku masih menangis hingga sesenggukan, makan apa pun saat ini rasanya pahit. Orang mana lagi yang gagal ikut tes CPNS sampai lima kali sepertiku?

"Lula, Lula. Coba lihat ini!" kata Kak Silma, kakakku. Ia seperti orang kesetanan mendobrak pintu rumah lalu berlari ke arahku. Tas ranselnya masih belum ia kancing, helm masih menengger di kepalanya, dan jilbabnya carut-marut.

"Silma, jangan sekarang dulu ya. Lula lagi sedih!" kata Ayah menyuruh Kak Silma untuk meninggalkan aku yang masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Ayah tahu walaupun seserius dan seheboh itu, berita yang dibawa oleh Kak Silma pasti berita yang tidak penting. Misal, berita perceraian artis, perselingkuhan artis, kasus narkoba artis, dan segalanya yang berhubungan dengan artis.

"Tetapi ini penting banget," kata Kak Silma memaksa.

"Silma....," kata Ibu.

Kak Silma akhirnya menyerah, ia melangkah ke kamar sambil berkata,"Lula dapat panggilan Seleksi Kemampuan Bidang CPNS." Lalu ia masuk ke kamar meninggalkan aku, Ayah, dan Ibu yang kebingungan. Tanpa pikir panjang, aku berlari menyusul Kak Silma meminta klarifikasi yang jelas darinya.

"Kak, gimana maksudnya?" tanyaku penuh harap.

"Katanya nggak penting," jawab Kak Silma. Aku memohon-mohon padanya, ia tertawa bahagia lalu memelukku. Ia menceritakan semua informasi yang ia dapatkan dari teman di kampusnya.

Tahun ini menjadi kejutan luar biasa untukku dan mungkin untuk peserta yang mendapatkan panggilan ke dua sepertiku. Fenomema gagal massal membuat banyak formasi kosong karena tak ada yang memenuhi passing grade. Beberapa peserta yang rankingnya di atas, diberikan kesempatan ke dua untuk mengikuti Seleksi Kemampuan Bidang (SKB) dan bersaing dengan peserta lainnya yang sama-sama belum passing grade untuk memenuhi formasi yang kurang.

"Jadi, iseng-iseng Kakak buka pengumuman dan mencari nama kamu. Eh ternyata kamu juga dipanggil La, ini pengumumannya," kata Kak Silma memberikan handphone-nya agar aku bisa melihat pengumuman resmi itu. Mataku berkaca-kaca, perasaan di dalam hatiku bercampur aduk.

"Presentase SKB ini kan tinggi banget La, 60%. Kamu harus maksimal banget supaya bisa lolos. Untuk Seleksi Kemampuan Dasar, walaupun nggak passing grade sementara ini nilai kamu yang tertinggi. Seandainya nilai SKB kamu bagus, insyaAllah kamu bisa jadi CPNS La," kata Kak Silma.

Setelah dihempas ke dasar laut, aku terbang setinggi-tingginya lagi. Semangatku yang kering mulai tumbuh tunas baru. Seandainya Kak Silma tak memberikan kabar baik yang ternyata sangat penting itu, mungkin aku masih menjadi seonggok manusia hina yang gagal penuh penyesalan. Walaupun waktu SKB tinggal dua hari lagi, aku tak perduli. Aku harus berusaha dahulu, baru pantas menilai diriku sendiri.


"Bu, Ayah mana?" tanyaku mencari Ayah yang sedari tadi subuh tak kulihat.

"Lula sudah mau berangkat tes ya? Tadi malam Ayah harus pergi ke rumah Nenek. Ayah mendoakan kamu semoga lulus. Bismillah. Hati-hati ya Nak," kata Ibu menyuruhku cepat pergi sebelum jalanan ke lokasi tes macet. Aku mencium tangan Ibu, ia memelukku, dan menepuk pundakku. Kunaiki motor maticku dan melaju dengan semangat empat puluh lima.

Tes Seleksi Kompetensi Bidang berjalan super mulus. Semua pertanyaan bisa kujawab dengan baik, suasana tes juga kondusif, dan aku tinggal menunggu pengumuman keseluruhan yang akan ditempel oleh panitia beberapa menit lagi. Aku terus menelepon Ayah agar ia bisa mendoakanku dari rumah Nenek. Aku juga berusaha menghubungi Ibu dan Kak Silma, namun hasilnya sama. Mereka semua sok sibuk sampai lupa hari ini adalah hari terpenting dalam hidupku.

Dari kejauhan, kulihat panitia menempel sebuah kertas di papan pengumuman. Buru-buru aku berlari sebelum terjebak dalam kerumunan peserta yang lain. Mataku langsung mencari formasi yang kutuju, Analis Kepegawaian Dinas Pemuda dan Olahraga. PERTAMA, namaku diurutan pertama. AHHHHHHHHHHHHHHHH, rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun aku tak mungkin melakukannya. Aku langsung menelepon Kak Silma dan berharap kali ini ia tak sok sibuk. Tiba-tiba dari jauh kulihat Kak Silma datang ke arahku, ia seperti mencari-cariku.

"Kak Silma," kataku memanggilnya. Kak Silma berlari ke arahku.

"Kak, namaku di urutan pertama," kataku lalu menangis. Kak Silma tersenyum lalu menangis. Namun, tangisan itu bukan tangisan haru. Ia tak bahagia.

"Kenapa?" tanyaku curiga.

"Ikut Kakak ke rumah sakit sekarang," ajaknya.

Di Motor, Kak Silma tak mengatakan apa pun. Perasaanku tak enak, namun aku tak tahu harus bertanya kepada siapa, sementara Kak Silma tak mau menjawab semua pertanyaanku. Apa Nenek sakit makanya Ayah buru-buru ke rumah Nenek tadi malam ya? Saat sampai di rumah sakit, Kak Silma menggandeng tanganku yang masih kebingungan. Mendadak pikiranku kosong, perasaanku tak enak, dan jantungku berdebar-debar. Di koridor rumah sakit, ada adik-adikku dan Ibu. Lalu di mana Ayah?

"Ayah?" tanyaku ke Kak Silma. Kak Silma menggandengku masuk ke dalam ruang rawat inap, di atas ranjang berbaring Ayah dengan tubuh yang lemas. Ia tersenyum ke padaku.

"Aku lulus, aku lulus," kataku pada Ayah, berharap Ayah akan baikan mendengar kabar baik dariku.

"Ayah tahu Lula pasti bisa, karena ALULA adalah sayap burung keluarga kita," kata Ayah. Aku menangis sejadi-jadinya, tangisan itu tangisan haru bercampur kekhawatiran.

"Kenapa nggak ada yang bilang ke Lula kalau Ayah masuk rumah sakit semalam?" tanyaku.

"Kami nggak mau membuat konsentrasi kamu buyar La. Dan itu juga permintaan Ayah," kata Kak Silma menjelaskan.

"Sudah, nggak usah marah-marah ke Kak Silma. Besok Ayah juga sudah boleh pulang," kata Ayah tersenyum. Aku mencium tangan Ayah dan ia mengusap kepalaku.

Kini, aku mengerti makna nama Alula yang diberikan Ayah. Alula adalah sayap burung terluar yang akan menjadi penopang keluarga kecil kami untuk mengepak lebih kencang ke angkasa.

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang