BURUNG PART 1

15 2 0
                                    

ALULA

Hari-hari di LATSAR berlalu begitu cepat. Nilai-nilai ANEKA hampir semua sudah dibahas dan didiskusikan di dalam kelas. Aku bersukur bisa melewati semua ini, bersukur memiliki keluarga yang mendukungku, sahabat-sahabat yang luar biasa, dan satu hal paling penting, Pak Arjuna. Ia akhirnya diberikan hukuman oleh panitia, kami cukup legah, utamanya Yeri. Pak Arjuna tidak diperkenankan melanjutkan LATSAR di angkatan kami. Entah siapa yang melaporkannya ke panitia. Itu menjadi misteri untuk Geng 207. Faza, ketua angkatan kami saja bertanya-tanya.

"Selamat siang Bu, mohon maaf menganggu waktu mengajar. Apa boleh kami memanggil Alula?" tanya panitia masuk ke ruang belajar.

"Oh boleh, Alula silakan ikut panitia," kata Widyaiswara.

"La," kata Salsabila panik. Terlebih aku yang sama paniknya dengan Salsabila. Aku terus mengingat-ingat kesalahanku, sepertinya aku tak melakukan kesalahan selama di asrama, lalu kenapa aku dipanggil oleh panitia? Aku mengikuti langkah kaki panitia menuju lobi. Kulihat Faza mengikutiku dari belakang.

"Pak, saya Faza, ketua angkatan. Apa boleh saya juga tahu masalah Alula apa?" kata Faza.

"Boleh, Faza dan Alula silakan duduk dulu," kata Pak Kepala Bidang (Kabid) yang sedari tadi menungguku di lobi asrama. Aku terus berpikir apa kesalahanku, sampai-sampai Pak Kabid sampai turun tangan begini.

"Nak Lula, sekarang kemasi barang-barang kamu dan pulanglah ke rumah," kata Pak Kabid dengan tenang. Namun aku sangat tak tenang mendengar perkataannya.

"Mohon maaf Pak, kenapa ya?" tanya Faza kebingungan.

"Nak Faza boleh ikut mengantar Lula pulang nanti," kata Pak Kabid.

"Kenapa saya harus pulang Pak?" tanyaku, mataku mulai berkaca-kaca.

"Saya ini sahabat baik ayahmu, tadi pagi dapat kabar dari ibu kamu dan sekalian minta tolong ke saya untuk mengabarkan ke kamu, ayah Nak Lula meninggal," kata Pak Kabid memberitahuku. Hatiku hancur, sangat hancur mendengar perkataan Pak Kabid.

"Ayah saya? Hah......," kataku, tubuhku lemas sekali. Aku tak sanggup untuk berkata-kata. Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa? Minggu lalu ia masih baik-baik saja dan aku berjanji padanya akan pesiar minggu ini. Lalu kenapa? Kenapa ia tak menungguku pulang?

"Tunggu di sini La," kata Faza lalu berlari sekencangnya.

Aku tak bisa melakukan apa pun, aku terus menangis. Apa aku bermimpi? Hey, Alula bangun! Bangun! Bangun! Ayahku sehat-sehat saja, ia masih hidup. Kabar ini pasti bohong! Ayah, tunggu sebentar lagi, aku hampir menyelesaikan LATSAR-ku. Jangan tinggalkan aku secepat ini, aku mohon Yah. Pak Kabid menepuk pundakku, tepukannya membuat air mataku semakin menjadi-jadi. Aku semakin mengingat Ayah, kenapa ia tak menungguku pulang? Aku belum mengucapkan salam perpisahan padanya.

"La, ini barang-barang kamu sudah kami kemas," kata Yeri. Aku melihat Yeri dan Salsabila membawa barang-barangku, tubuhku yang lemas kusandarkan pada mereka berdua. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Yeri dan Salsabila. Mereka berdua mengelusku.

"Ayo Nak, Bapak antar," kata Pak Kabid. Tubuhku yang lemas dibantu oleh Yeri dan Salsabila menuju mobil Pak Kabid. Kulihat Faza dan Ghani membawa barang-barangku. Aku masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Ghani duduk di bangku sebelahku.

"Loh, bukan Faza yang antar?" tanya Pak Kabid.

"Saya saja Pak, saya wakil ketua angkatan," kata Ghani.

Di perjalanan, aku terus mengingat Ayah. Rasanya, aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

"Aku masih bercerita dengan Ayah waktu pesiar Ghan," kataku lalu mulai menangis lagi.

"Nggak apa La, menangis kalau kamu ingin menangis semau kamu," kata Ghani. Sepanjang jalan aku terus menangis dan terus menangis. Memoriku tentang Ayah berputar-putar di kepalaku. Saat aku masih kecil, ia yang mengajariku membaca dan menulis, ia yang mengajariku naik sepeda dan sepeda motor, ia yang terus bercerita tentang pekerjaan baiknya menjadi PNS. Pekerjaan yang akhirnya menjadi mimpiku, lalu saat aku hampir mencapai mimpi itu, kenapa? Kenapa ia meninggalkanku? Masih banyak hal yang ingin kuberikan dan kutunjukkan padamu, tolonglah! Jangan tinggalkan aku, Ayah.

Mobil berhenti di depan rumahku, tenda baru saja ingin dipasang. Keluarga dan tetangga melihat ke arahku saat aku turun dari mobil. Aku turun dengan badan yang sangat lemas, tertatih-tatih berlari kecil masuk ke dalam rumah, kulihat ada Ibu, Kak Silma, dan adik-adikku duduk di samping tubuh Ayah yang terbaring di ruang tamu. Kusentuh tubuh Ayah dengan lembut, sudah kaku. Kini, aku tak bisa lagi mengeluh pada jasad itu tentang apa pun. Aku menyapu air mataku, melihat Ibu dan saudara-saudaraku. Mereka menggeleng tanda melarangku untuk menangis di hadapan Ayah. Aku berusaha tersenyum namun aku tak sanggup, senyuman itu tetap saja dibasahi oleh air mata. Aku menghapus air mataku lagi, berusaha tersenyum namun hasilnya masih sama. Aku yang tak kuat memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi, membasuh air mataku dengan air.

"Jangan menangis! Jangan menangis! Jangan menangis!" kataku sambil menyapu air mataku dengan air. Aku menepuk-nepuk pipiku agar segera sadar dan tegar menghadapi perpisahan ini.

"La, kita berdua yang tertua, tugas kita untuk tegar sejenak di hadapan adik-adik kita. Ganti bajumu dan kembali ke ruang tamu, kita harus tegar untuk Ibu dan adik-adik," kata Kak Silma saat aku keluar dari kamar mandi. Aku memeluk Kak Silma dan menangis sejadi-jadinya, Kak Silma menepuk pundakku dan menyuruhku untuk kuat sementara waktu sampai Ayah dikuburkan.

Aku mengikuti permintaan Kak Silma, berusaha tegar di hadapan Ibu dan adik-adikku. Kami menghantarkan Ayah dengan tenang dan tegar di peristirahatan jasadnya yang terakhir. Aku berhasil menghantarkannya tanpa tetes air mata. Perpisahan itu sangat indah, semesta menghantarkan jasad orang baik itu dengan sangat indah. Kuucapkan salam perpisahan pada Ayah, dan kami meninggalkan Ayah tidur dengan nyenyak.

Aku, Ibu, dan saudara-saudaraku kembali ke rumah. Di rumah ini terasa ada yang berbeda, ada yang hilang. Rasanya, pondasi rumah kami hilang sebelah. Aku menarik nafas dan masuk ke dalam kamar bersama Kak Silma.

"La," kata Kak Silma memberikan secarik surat untukku,"dari Ayah," sambung Kak Silma. Aku mengambil surat itu dan mulai membacanya.

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang