KAMAR 207

36 4 0
                                    

Salsabila

Tanggal 19 Februari 2020 – Malam ini, Alula dan Yeri menginap di rumahku. Biar saja, sekali-kali mereka harus merasakan tinggal di kampung. Setelah lima bulan tak pernah bertemu, sejak LATSAR berakhir kami sibuk dengan urusan masing-masing. Dua hari lalu kuputuskan untuk menghubungi keduanya. Aku meminta mereka datang dan menginap di kampungku. Permintaan itu bukan tanpa alasan, aku ingin mereka menemani malam sebelum hari pernikahanku.

"Rasanya sudah sangat lama tidak bertemu kalian, kita yang terbiasa bersama tiba-tiba disibukkan dengan urusan pekerjaan di kantor masing-masing," kata Yeri sambil menatap langit malam dari jendela kamarku.

"Aku jadi ingat, saat perpisahan kita bertiga. Seolah-olah kita tak akan bertemu lagi. Padahal kita masih satu kota," timpal Alula. Kami semua tertawa mengingat masa-masa LATSAR yang ternyata tak mudah untuk dilupakan.

"Tetapi nyatanya, walaupun kita satu kota, kita sibuk dengan urusan masing-masing kan?" kataku. Yeri dan Alula mengangguk dan menghela nafas.

Aku tahu, saat hari terakhir LATSAR yang kami tangisi di kamar 207 bukan perpisahan kami bertiga, toh kami masih satu kota dan satu instansi pemerintah. Tangisan itu adalah tangisan perpisahan dengan momen yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Banyak hal yang terjadi selama LATSAR, singkat namun sangat berkesan. LATSAR tak hanya mengajarkanku makna bela Negara, mencintai dan mengabdi pada Negara, menerapkan nilai-nilai ASN, dan habituasi dengan aktualisasi di OPD masing-masing. Tak hanya tentang itu, merelakan, melepaskan, menerima diri sendiri, dan memaknai tujuan sebenarnya menjadi PNS, itu yang kami dapatkan.

Alula dan Yeri berhasil menuliskan nama mereka di buku kenangan hidupku. Aku belajar makna kehidupan sebenarnya setelah berpuluh-puluh tahun hidup dari mereka. Selama ini, tak seluas itu aku memandang kehidupan. Aku hanya berfokus pada diriku, diriku, dan diriku saja.

"Kalian masih ingat Pak Arjuna? Kudengar dia akhirnya bercerai dengan istrinya," kataku memberikan informasi pada Yeri dan Alula. Namun, Alula dan Yeri tak menanggapinya. Mereka hanya tertawa tak henti-henti seolah senang sekali mendengar kabar itu.

"Sudah-sudah, ganti pembahasan!" kata Yeri mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu masih sering digodain bapak-bapak di kantor Yeri?" tanya Alula tanda sepakat untuk tak membahas Pak Arjuna.

"Masih, tetapi aku tak perduli. Ngomong-ngomong aku punya cerita saat perjalanan dinas ke Jakarta. Saat kunjungan ke Kementerian, Ibu datang dan memperkenalkan pada teman-teman kantorku bahwa aku anaknya. Setelah itu, mereka jadi berubah dong di kantor. Yang biasa menyuruh-nyuruhku, jadi segan. Parahnya, banyak banget yang minta jabatan denganku karena Ibu Eselon II di kementerian. Please lah, " kata Yeri.

"Terus anak honorer yang sering nyuruh kamu itu bagaimana?" tanyaku penasaran.

"Sekarang sudah nggak lagi. Kadang titel jadi anak pejabat itu nggak enak ya. Dikira usaha sendiri adalah previlege orang tua. Padahal aku juga mati-matian untuk mendapatkannya," kata Yeri mengeluarkan unek-uneknya. Angin berhembus lembut, aku dan Alula terdiam. Kami berdua hanya menatap Yeri tanpa memberikan statement untuk menyangkal kalimat yang ia ucapkan. Aku dan Alula mengerti walaupun Yeri memiliki segalanya, namun sangat sulit menjadi dirinya.

Aku memutar lagu-lagu yang dahulu sering kami nyanyikan di kamar 207 untuk mengundang banyaknya kenangan selama LATSAR. Angin menerbangkan tirai jendelaku, Yeri dan Alula menutup matanya untuk meresapi makna lagu yang kuputar. Aku pun ikut menutup mataku, menarik nafas panjang, dan menghelanya. Ternyata, rasa sakit itu masih ada di hatiku. Aku yakin Yeri dan Alula juga masih merasakan kehilangan itu.

"Pada akhirnya, menikah dengan laki-laki yang mencintai dan memperjuangkan kita adalah pilihan terbaik. Aku yakin ia adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupku," kataku.

"Benar Bil," kata Alula.

"Tetapi, hidup kita ini banyak plot twist-nya ya! Termasuk dia yang besok menikah dengan kamu Bil, itu bagian dari plot twist hidup kita bertiga," kata Yeri kemudian tertawa. Benar, aku pun tak menyangka akan menikah dengan lelaki seperti dirinya.

"Jujur, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Ia akan menjadi pacar pertamaku setelah menikah," kataku jujur pada Alula dan Yeri. Mereka kaget mendengar pengakuanku. Ya, siapa yang tidak kaget? Di zaman sekarang, kurasa tak banyak sepertiku. Namun, memilih tak menjalin hubungan sebelum menikah adalah komitmen dengan diriku sendiri yang tak boleh kulanggar. Dan, aku berhasil menjadi high quality jomblo selama dua puluh enam tahun. Aku pantas untuk mendapatkan penghargaan atas pencapaianku ini.

"Aku penasaran, awal jadi CPNS kalian punya crush nggak sih?" tanya Alula random. Kami bertiga saling tatap karena ragu ingin mengakui itu.

"Aku jujur, tetapi jangan kaget ya! Lagi pula, ini sudah berlalu. Di hari pertama, aku sudah menaruh simpati kepada Faza," kata Yeri lalu tertawa malu. Ya, itu sangat aneh Yeri. Di hari pertama, ia dengan beraninya menaruh hati pada laki-laki yang baru ia kenal sehari.

"Bila siapa? Jangan bilang calon suami kamu sekarang ya?" tanya Yeri penasaran. Aku menggeleng sambil memberikan kode pada Alula untuk tak memberitahu Yeri. Alula mengangkat jempolnya, tanda sepakat untuk tak membocorkan siapa yang kusukai dahulu.

Memoriku tiba-tiba melayang ke aula Badan DIKLAT, saat acara pembukaan LATSAR usai. Laki-laki itu yang menarik tanganku agar bisa bergabung dengan kelompoknya, laki-laki yang membuatku malu dan tak berani keluar dari kamar. Dan, laki-laki yang menyanyikan lagu indah saat aku dan ia naik tangga asrama bersama. Ya, Kaleel. Siapa lagi kalau bukan dia. Si pemilik suara emas itu membuat hari-hariku selama LATSAR menjadi berwarna.

"Aku penasaran, siapa dia?" tanya Yeri penasaran dan terus memaksa Alula untuk memberitahunya. Aku dan Alula hanya tersenyum, membiarkan Yeri penasaran karena itu.

Malam semakin larut, tiba-tiba handphone-ku memutar musik maumere, seolah memaksa Alula untuk mengingat kenangannya tentang musik itu.

"Ah, senam maumere....," kata Alula lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Aku dan Yeri tertawa mengejek kenangan buruk Alula tentang senam maumere.

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang