MENGAPA JADI PNS?

40 4 0
                                    

Yeri

"Aku ingin melanjutkan mimpi ayahku Yeri, ia pensiunan PNS. Cita-citanya menjadi PNS sangat murni dan tulus untuk bangsa, dan itu yang membuat keberkahan buat keluarga kami yang sederhana," kata Alula bercerita di kamar sambil merapikan baju-bajunya di lemari.

Apa niatku menjadi PNS sudah benar? Apa alasanku sudah tepat? Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Melihat semangat Alula yang katanya sudah mengikuti tes CPNS sebanyak lima kali, aku merasa malu pada diriku sendiri. Ia yang tulus untuk bangsa ini, sementara aku hanya beralasan menghindari Arsyil si debu ibu kota itu. Lalu, apa caraku ini bisa membuatku berhasil melupakan Arsyil?

"La, aku ke balkon dulu ya," kataku pada Alula yang sedari tadi bercerita tentang niat baiknya menjadi PNS.

"Okey Yeri," katanya.

Aku melangkah keluar kamar asrama dan menuju balkon dengan seragam hitam putihku yang belum diganti. Balkon itu berada di lantai dua asrama, tepat di sebelah kamar kami, kamar 207. Kurasa balkon asrama sangat tepat untukku merenungi pilihan hidup yang kujalani saat ini. Tempatnya nyaman untukku, hembusan angin yang lembut, kursi dan meja tertata rapi, serta pemandangan langsung ke arah belakang gedung asrama. Walaupun gedung asrama ini sepertinya sudah sangat tua, tetapi perawatannya cukup baik. Semua fasilitas asrama bagus dan nyaman. Di setiap kamar ada Air Conditioner, kamar mandi dalam, tiga lemari, tiga kasur ukuran single dengan bed covernya, fasilitas laundry, ruang makan yang bersih, ruang belajar yang up to date, masjid yang cukup besar, perpustakaan, dan koperasi yang menyediakan makanan-makanan ringan. Fasilitas sederhana itu sudah cukup bagi kami untuk tinggal beberapa minggu di sini. Balkon ini akan menjadi tempat favoritku selama di sini untuk menyendiri. Beruntung kamar kami dekat sekali dibandingkan kamar peserta LATSAR perempuan lainnya. Dan beruntungnya lagi balkon hanya berada di lantai dua. Lantai tiga dan empat, kamar peserta LATSAR laki-laki sepertinya tak ada.

"Enak banget ya, di lantai dua ada balkonnya. Di atas nggak ada," kata Faza turun dari lantai tiga dan menghampiriku. Ia seolah memvalidasi perkataanku barusan tentang balkon ini.

"Eh Faza, jam berapa kumpul upacara makan malam nanti?" kataku menyapa sekaligus bertanya pada Faza. Ia duduk di sampingku dan menghela nafas seperti kelelahan.

"Habis salat magribh kayaknya," jawabnya. Aku mengangguk tanda menerima informasinya dengan baik. Ya, ia adalah ketua LATSAR angkatan XIX, jelas aku sangat mempercayai informasi yang ia berikan.

"Senyaman apa pun di sini, bagiku rumah tempat yang paling nyaman. Kasihan Ibu sendirian di rumah. Eh, kamu juga orang Betawi ya? Aku juga," kata Faza membuka pembicaraan.

"Iya, bener. Tetapi kamu tinggal di sini? Udah nggak di Jakarta lagi?" tanyaku.

"Dari kecil aku pindah ke sini," jawabnya.

Sore menjelang magribh itu, aku dan Faza bercerita banyak hal di balkon sambil menikmati udara sore yang sejuk. Ia bercerita banyak tentang kota ini, kuliner khas, tempat wisata, dan mengajarkanku logat daerah. Katanya, aku harus belajar agar tak dibodoh-bodohi kalau naik kendaraan umum atau ke tempat perbelanjaan.

"Di kantor bagaimana? Melelahkan ya jadi cewek single, pasti jadi bulan-bulanan bapak-bapak iseng, Lula juga begitu soalnya," kata Faza sambil tertawa.

"Awalnya shock, tetapi mau bagaimana lagi. Emm, tetapi di kantor kamu kayak perselingkuhan antara ibu dan bapak yang sama-sama sudah menikah itu ada? Itu sih yang membuatku sedikit nggak nyaman," kataku. Faza tertawa puas mendengar perkataanku.

"Kurasa di kantor swasta pun banyak, tahu istilah bahasa Jawa witing tresno jalaran soko kulino? Cinta itu datang karena terbiasa. Ya, mungkin karena kurang lebih delapan jam di ruangan yang sama, berinteraksi, dan bekerja bersama. Bahkan, sama-sama perjalanan dinas. Itu yang akhirnya membuat muncul rasa cinta. Mungkin, waktu mereka bekerja bersama lebih banyak dibandingkan waktu bersama pasangannya masing-masing," kata Faza.

"Ahli banget ya dalam dunia perselingkuhan," kataku bercanda.

"Ya, karena aku korban perselingkuhan itu. Ayahku yang dipindahkan ke sini, berselingkuh dengan teman kantornya. Meninggalkan Ibu dan aku, ia lebih memilih perempuan itu dibandingkan kami," cerita Faza. Angin berhembus menerbangkan daun-daun pohon di depan balkon asrama. Seolah tahu isi hati Faza yang retak saat mengingat itu.

"Maaf," kataku.

"Aku bercerita seperti ini dengan santai, artinya aku sudah berdamai dengan masa lalu itu," katanya lalu menepuk bahuku dengan lembut. Ia tertawa namun matanya tak bisa berbohong, masih tertinggal kesedihan yang sepertinya tak akan pernah hilang sampai kapan pun.

Faza, ketua LATSAR angkatan XIX. Orang yang baru kukenal hari ini, mendadak menjadi anggota satu geng yang dibuat oleh Alula. Geng 207, nomor kamar kami bertiga. Tetapi isinya ada Faza dan Ghani. Konyol memang, tetapi Geng 207 ini kurasa akan membuatku nyaman di asrama ini. Faza sepertinya orang yang baik, terbukti ia sangat menyayangi dan menjaga ibunya. Selain itu, caranya menepuk bahuku... Jujur sempat membuatku malu, aku berharap wajahku tak memerah karena sikap manisnya. Ia membuatku menjadi sangat spesial sore ini. Ia bahkan bercerita tentang hidupnya kepadaku, orang yang baru ia kenal beberapa jam lalu.

"Ngomong-ngomong, alasan kamu jadi PNS apa?" tanya Faza. Aku tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Aku tak mungkin menceritakan tentang Arsyil pada Faza.

"Setiap orang pasti punya alasannya masing-masing. Kalau aku, simple. Dengan menjadi PNS, aku rasa aku bisa berbuat banyak hal baik semasa hidupku. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain," kata Faza. Ia sepertinya tahu bahwa aku tak mau menjawab pertanyaan darinya.

Alula dan Faza, CPNS dari Dispora ini. Keduanya, perfect combo memberikanku hikmah di hari pertama LATSAR. Alasan Faza membuatku semakin malu pada profesi ini, sangat malu.

"Okay Yeri, aku ke bawah dulu ya," kata Faza sambil menunjuk ke arah teman-teman LATSAR yang berkumpul di bawah pohon sambil berlatih menjadi komandan apel. Aku mengangguk dan membiarkan Faza berlalu dari pandanganku.

Setiap peserta LATSAR diwajibkan menjadi komandan apel sesuai jadwal yang diberikan. Tugas komandan apel memastikan kelengkapan peserta LATSAR, memimpin upacara makan, serta apel pagi dan malam. Kulihat beberapa peserta LATSAR sedang berlatih di bawah pohon, di sana ada Ghani dan teman-teman satu OPD-nya. Lalu, tak lama Faza berlari menghampiri mereka. Berbicara ramah sama seperti yang ia lakukan padaku, tertawa, bercanda, dan................. Benar-benar sama dengan ia lakukan padaku, ia menepuk bahu salah satu perempuan yang duduk di samping Ghani sambil tersenyum manis. Dasar, si terlalu friendly. Hampir saja aku dibuatnya jatuh hati.

Kecewa karena ternyata tak diperlakukan spesial oleh Faza, bagai diterbangkan ke langit lalu dihempaskan ke bumi. Aku meninggalkan pertunjukan keramah-tamahannya di bawah. Kurasa aku tak sanggup melihatnya. Aku memutuskan kembali ke kamar dan berbaring sejenak. Ah, melelahkan sekali hari ini.

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang