ALTAREL 1

732 37 49
                                    

Haii haii...
Hehe perkenalkan cerita pertama akuu...
Mungkin awalannya akan terasa garing, tapi tidak ada yang tahu kedepannya.
Jadi mari kita baca bersamaa...

And jangan lupa vote dan komen, karena aku butuh itu semua dari kalian...

Happy reading gays

[][][]

"Cinta memang tidak bisa di paksakan, tapi usaha tidak akan mengkhianati hasilnya kan?"

_Abella citra yuanda_

"Selamat pagi wahai warga Prindavan." sorak seorang gadis berkuncir kuda sembari menggebrak pintu.

"Kaki ayam copot!"

"NANGKA NANGKA."

"WOYY JANTUNG GUE MAU TERJUN NIH, LO SEHARI JANGAN BARBAR BISA GA SIH?"

Abel terkekeh, ia lalu berjalan menuju bangkunya. "Hehehe, maaf semua." ujar Abel dengan kekehan garing nya.

Yang lain mendelik lalu kembali fokus pada tugasnya, berbeda dengan seorang lelaki yang duduk di depan bangkunya. Lelaki itu terlihat santai dengan earphone di telinganya sembari tertidur dengan buku yang menutupi wajahnya.

Abel perlahan mendekat, lalu dengan secepat kilat lelaki itu menyingkirkan buku di wajahnya lalu menatap tajam Abel yang kini gelagapan di tempat. "Kebiasaan ngagetin orang tidur." kata lelaki itu dengan nada ketus.

Abel menggaruk kepalanya. "Hehe, pagi pian."

Alvian Mahesa, Lelaki setengah cuek setengah friendly dengan dagu terbelah yang berhasil menempati hati seorang abella citra yuanda. Alvian juga kerap di panggil, Pian, atau kadang nyeleneh menjadi piano.

Alvian tak menjawab, dia lalu beranjak bangkit dan pergi meninggalkan Abel. Abel dengan cepat mengejar Alvian, ada hal penting yang harus di selamatkan. "Pian, gue minjem buku matematika lo ya," teriaknya berharap Alvian mendengar. Seolah mendengar, Alvian memberikan simbol dengan ibu jari seolah berkata 'Iya'.

Abel tersenyum lalu segera mengambil buku matematika yang ada di dalam ransel milik Alvian, ia dengan cepat mengambil sesuatu di kolong mejanya, lalu memasukkan sebuah kotak nasi kedalam ransel milik Alvian dan dengan cepat langsung menutupnya.

"Hehe, semoga Pian suka."

"Duarr... Ngapain lo!" Kaget Shena, sahabat sekaligus teman terdekat Abel. Abel hanya dapat mengusap dada, "Na, bisa ga sih gausah ngagetin gue? Nanti ketahuan gimana!"

Shena mendelik, "Masih aja lo ngasih makan ke dia, di makan sama dianya aja kagak," Abel tersenyum, sahabat satunya ini kalau ngomong suka bener.

"Kan usaha, na. Ya walaupun kagak di makan, tapi seenggaknya dia tau itu makanan dari gue."

"Usaha sih usaha, tapi usaha lo tidak memberikan hasil. Lagian mending uncrush aja uncrush, dia aja suka nya sama si itu tuh," pandangan mata Shena beralih pada seorang gadis yang kini tengah tertawa bersama beberapa orang.

Abel tersenyum pedih, "10 bulan loh, sayang banget kalau tiba-tiba gue uncrush dia."

"Lebih sayang 10 bulan lo sia-sia cuman karena satu cowok."

Dan, itu benar.

°°°

Pelajaran sedang berlangsung, atensi murid di kelas tertuju pada seorang guru tua yang sedang mengajar fisika. Berbeda dengan Abel yang kini malah tertidur dengan bantalan lengan, bisa di bilang kurang hajar, tapi bagaimana lagi? Dia sangat mengantuk.

Dan pada ujungnya dia harus kepergok oleh guru itu, dan mendapatkan hukuman untuk berdiri di depan papan tulis sampai pelajaran selesai. Nasi sudah jadi bubur, mau mengelak pun sepertinya tidak bisa. Jadi Abel hanya pasrah dan mengikuti kemauan guru tersebut.

Di depan sana, dia bertatap dengan Alvian yang terlihat tidak peduli dengan keberadaannya di sini. Di depan sana, ia semakin jelas melihat Alvian yang sesekali mencuri curi pandang pada seorang gadis yang duduk di jajaran terdepan.

Abel tersenyum kecut, bolehkah dia cemburu dengan gadis berambut cokelat dengan bandana di kepalanya. Panggil saja Naomi, gadis yang di sukai oleh Alvian akhir akhir ini. Abel tak tahu apa yang membuat Alvian menyukai gadis itu, padahal jika di lihat dari nilai akademik dirinya lebih unggul dari pada Naomi. Ya apakah karena fisik?

Abel memiliki tubuh yang sedikit berisi namun tinggi, dengan kulit eksotis, dan rambut hitam legam yang panjangnya Sepinggang. Dengan bola mata hitam, serta bibir kecil berisi. Berbeda jika dengan Naomi, Naomi memiliki tubuh yang cukup ideal namun tidak terlalu tinggi, dengan rambut kecoklatan dengan iris mata coklat tua. Kulit putih bersih, dan juga rambut panjang sebahu.

Ya mungkin bisa dibilang bahwa Naomi termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memiliki fisik sempurna, lantas jika seseorang jatuh cinta hanya karena fisik, terus apa gunanya hati?

"Abel hukuman kamu sudah selesai, dan kamu bisa keluar."

Suara itu mengagetkan Abel yang tengah melamun. Abel lantas melihat ke sekeliling kelas, terlihat dari pandangannya, sudah tidak ada orang di kelas yang menandakan bahwa anak-anak kelas sudah pergi berhamburan ke kantin untuk mencari makan.

Namun, satu objek berhasil mengunci tatapan mata Abel. Di ujung sana ada Alvian yang tengah memakan sarapannya, tunggu! apakah dia tidak salah melihat bahwa lelaki itu sedang memakan sarapan yang dia buat.

Dengan cepat dia berjalan ke arah Alvian untuk menyapa, sekaligus menanyakan tentang makanannya.
"Pian," sapa Abel dengan senyum manis yang menghiasi wajah manisnya.

Alvian menatap ke arah Abel, dengan tatapan datar dia bertanya. "Kenapa?" Tanya Alvian dengan alis terangkat.

"Kamu makan sarapan dari aku? Gimana rasanya?enak nggak?" Tanya Abel dengan senyuman yang tak luntur.

Alvian terlihat bingung, dia menatap wadah bekalnya lalu kembali menatap Abel. "Ini yang lo maksud?" Dengan cepat Abel mengangguk.

"Oh ini tempat makan Naomi, dan yang lo maksud bekal ini juga bakal pemberian Naomi. Mungkin tempat makannya sama?" Penjelasan dari Alvian membuat Abel terdiam. Apa maksudnya?

"Maksud Lo?"

Alvian terlihat mengeluarkan sesuatu dari kolong mejanya, dan terlihatlah bekal makannya yang belum sama sekali disentuh oleh Alvian. "Ini kan yang lo maksud?"

Abel terdiam, ia menatap Alvian yang menatapnya datar. "Kenapa ga di makan? Itu gue bikinnya penuh perjuangan."

Alvian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf bel, soalnya tadi pagi banget Naomi kasih makan ini buat gue, nggak enak kan kalau nggak dimakan."

"Tapi lo ga pikirin perasaan gue, Pian."

Abel mengangguk mengerti, "Nggak apa-apa kok biar gue aja yang makan, lo lanjut makan aja ya."

Alvian menatap mata Abel yang terlihat kecewa, "Sebelumnya makasih udah mau bikinin gue bekal, maaf ya."

Abel terkekeh, seolah tidak terjadi apa-apa padahal di dalam hatinya sangat sangat sangat sangat kecewa. "Nggak papa nggak masalah. Bukannya udah biasa ya gue kayak gini? Bercanda hahaha."

Alvian tidak ikut tertawa, melainkan dia menatap sorot wajah tersebut.

Entah menyesal, atau kenapa. Yang pasti, Abel tidak peduli.

[][][]

To be continued...

Jujur kalau aku jadi Abel, mungkin aku bakal langsung nyerah gitu aja. Tapi, bisa aja aku juga bakal bertahan.

Tunggu part selanjutnya yaa..

Papaii...

ALTAREL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang