Chapter 22

21 4 0
                                    

"Morgance, ada yang ingin kutunjukan kepadamu!"

Rambut hitam arang panjang itu berkibar mengikuti arah gerak sang empunya. Netra violet itu berpendar dengan penuh harapan, dalam naungan bulu matanya yang lentik, dan alis bergaris tegas. Senyumnya merekah perlahan. Segera ia menuruni tangga taman untuk menemui si pemanggil.

Si pemanggil memiliki surai emas kecoklatan yang tebal dan tampak sehat. Pakaiannya rapi dan formal, mengenakan kasut dari bahan terbaik di seluruh negeri, dan jas yang ia kenakan bisa mencapai ratusan keping koin emas. Dia adalah Cencio Clivar, Putra Mahkota Kerajaan Clivar. Pemuda yang berhasil mencuri perhatian banyak gadis. Dengan senyum menawan yang tak pelit ia berikan pada orang lain, Cencio dikenal sebagai pangeran yang ramah. Dengan tatapannya yang hangat dan tak mengintimidasi, Cencio dapat menarik atensi semua orang untuk terpusat kepadanya.

Sayangnya, atensi Cencio yang didambakan oleh semua orang itu telah dipusatkan pada gadis seumurannya. Yang tak seelegan bangsawan pada umumnya, tetapi dengan senyuman tipis yang selalu ia tawarkan, membangun kesan bahwa dirinya memiliki daya tarik tersembunyi. Cencio sempat terpukau pada daya tarik itu ketika dirinya masih di awal masa remaja. Sebab itulah ia mengejar dan terus mengejar, mendambakan rasa ketika sesuatu yang sulit dicapai itu terasa dekat denganmu. Atensi yang begitu memabukkan itu hanya Cencio temukan pada perempuan yang ada di hadapannya saat ini, Morgance Oxley.

"Yang Mulia?" Morgance tersenyum kecil sembari memandang wajah Cencio yang pipinya memerah.

"Cencio. Aku selalu memintamu memanggilku demikian." Cencio mengulurkan tangannya.

"Saya tidak berani," kekeh Morgance sembari menerima uluran tangan Cencio. Ia memeluk lengan kanan Cencio dengan mesra.

Cencio tampak tak senang dengan jawaban Morgance. Ekspresi wajahnya berubah seketika. "Kalau begitu, setelah kita menikah nanti, kamu harus memanggil menggunakan namaku. Jangan sekali-kali memakai kata 'Yang Mulia'."

"Baiklah, anggap saja kita sepakat untuk kali ini. Omong-omong, apa yang ingin Anda tunjukan, Yang Mulia?"

"Ikut saja." Cencio menepuk kecil punggung tangan Morgance sembari melempar senyum jahil. "Ini adalah kejutan. Aku tidak akan membocorkannya."

Mereka berjalan menuju sebuah ruangan megah yang terletak di pinggiran istana pangeran. Tak ada perabotan besar di dalam ruangan itu. Sebagai pesona utamanya adalah lukisan Pangeran Cencio dan tiga pangeran lain. Pula lukisan Morgance Oxley ketika masih bocah, yang dikirimkan pada hari ulangtahun Cencio menjelang acara pertunangan mereka. Morgance tetap tidak terbiasa melihat lukisannya terpajang di sana.

Cencio menarik lembut tangannya menuju ke tengah ruangan. Lukisan yang terpajang di dinding menutup pesona sebuah gaun cantik yang terpajang rapi di sana. Gaun itu dirancang dengan menonjolkan area bahu pemakainya, lengan kecil yang berkerut sampai ke siku, rok yang mengembang dengan tiga lapis warna, dengan warna dasar biru dongker yang memancarkan aura tegas. Sepanjang rok itu terukir hiasan khas Kerajaan Clivia yang dijahit menggunakan benang emas. Di samping gaun itu terdapat tiara bertabur berlian, begitu cantik, dan menawan. Bersama tiara itu, terdapat satu set lengkap perhiasan dari anting-anting hingga gelang.

Cencio membawa Morgance lebih mendekat. "Gaun ini yang akan kamu kenakan di hari pernikahan, dengan perhiasan yang mempercantikmu."

Mata Morgance berbinar memandang keindahan itu. Cencio tak ia pandang sejenak pun, sudah terhipnotis oleh cantiknya gaun pernikahan dan perhiasan yang akan digunakannya dalam hitungan bulan.

"Dan aku yang akan berdiri di sampingmu saat pernikahan itu."

Suara Cencio berubah menjadi berat dan menakutkan. Ruangan yang semula didominasi oleh warna putih keemasan berubah menjadi suram. Dinding dan temboknya terbuat dari marmer. Pada empat sudut arah mata angin, tertutup oleh kain marah yang tebal, menjuntai hingga ke bawah. Di setiap kain merah itu memiliki lambang tangan yang tengah menangkup api, terjahit rapi dari benang emas. Mendadak lilin-lilin yang ada di ruangan itu mati tertiup angin kencang entah darimana asalnya.

The Marchioness' Bad RumorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang