14. Sisi lain Naresh

58 3 1
                                    

Masha pov

Saya menatap Naresh yang kini memandangi punggung Ayah dan Bundanya dari kaca jendela meja makan. Jadi ceritanya beberapa saat yang lalu Ayah Naresh mendapat telfon dari pegawainya yang ada di kantor cabang Jakarta kalau ada sedikit masalah disana , karena itu Ayah dan Bunda langsung bergegas pergi untuk menyelesaikan masalah disana.

"Na..."

"Ayah sama Bunda bahkan belum nyobain makanan yang kamu bawa."

Naresh masih menatap kepergian Ayah dan Bundanya dari tempat ia duduk sekarang. Hingga kedua orang tuanya masuk ke dalam mobil dan hilang dibalik pagar kokoh rumahnya pandangan Naresh masih menerawang jauh keluar jendela kaca besar itu.

"Maaf, kamu kesini tapi Ayah sama Bunda malah pergi lagi." Naresh menunduk lesu.

Saya mengambil tangan kanannya untuk saya genggam.

"Apa sih pake minta maaf segala, santai aja lagi. Aku paham kok mereka sibuk. Lain kali juga bisa ketemu lagi."

"Tapi kapan? Lihat kan tadi aja baru pulang udah pergi lagi. Pulang pun malah kamu lihatnya Ayah debat sama aku."

Saya menghembuskan nafas panjang lalu memeluknya. Saya menepuk nepuk bahunya perlahan agar emosinya turun.

"Nanti Na. Ada saatnya. Aku janji kita bakal ngabisin banyak waktu sama Ayah Bunda kamu. Dan debat sama orang tua tuh wajar, aku nggak yang gimana gimana lihat kamu debat sama Ayah kamu."

"Tapi aku malu banget, hari ini harusnya kamu bisa ngumpul sama orang tua aku, kamu udah totalitas banget persiapannya buat ketemu sama mereka tapi apa, nggak ada sejam mereka nemuin kamu. Bahkan sekedar makan barengpun nggak bisa."

Dia menjatuhkan kepalanya di pundak saya memeluk pinggang saya erat. Biasanya saya akan komplain saat dia mulai seperti ini tapi untuk sekarang saya membiarkan dia memeluk saya sepuasnya. Bahkan saya mengusap usap rambut lebatnya.

"Aku beneran nggak masalah Na, kamu jangan mikir macem macem deh. Mau aku bikinin kopi? Atau kita makan makanan yang kita beli tadi hmm?"

"Bahkan Bunda nggak makan klappertaart yang kamu beliin. Padahal tadi Bunda excited banget mau nyobain."

Ah saya salah ngomong. Harusnya saya tidak menyinggung apapun mengenai Bundanya.

Saya melepaskan pelukan saya dengan Naresh lalu berganti merangkum wajahnya dengan kedua tangan saya, "It's okay Na. Aku nggak papa beneran. Aku kan kesini main doang, kapan kapan kalau Bunda di rumah lagi aku bisa main kesini lagi makan klappertaart bareng kalau perlu kita masak masak bareng. "

Perkataan saya tetap saja tidak membuat Naresh lebih baik, pandangannya terus menerus tertuju pada makanan yang terhidang di meja makan.

"Gimana kalau kita ke rumah aku aja hmm? Ketemu Ibu. Kita ketemu Ibu aja ya Na. Kamu bisa masak sama Ibu kayak biasanya. Ibu lagi ada nyoba resep baru, biasanya kan Ibu minta kamu buat nyicipin. Kamu mau kesana?"

Naresh menggeleng, "Enggak untuk sekarang. Aku lagi dalam mood yang berantakan Sha. Maaf." Dia beranjak dari tempat duduknya membawa piringnya ke washtafel.

"Nooo... nggak papa jangan minta maaf."   Saya menyusulnya yang kini sibuk mencuci piring," Aku ngerti kok. Senyaman kamu aja. Aku temenin kamu. Kamu mau ngapain aja, kita lakuin itu sama sama. "

Naresh hanya menatap saya dengan tatapan sendunya. Saya tau mood dia saat ini sedang anjlok. Memang Naresh tuh moodyan, kadang saat dalam mood baik dia menjadi seseorang yang sangat ceria dan banyak tingkah tapi saat moodnya jelek dia bisa jadi seseorang yang amat sangat pendiam. Yah seperti saat ini.

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang