1. Prolog

257 5 4
                                    

4 tahun lalu

Jadi ini waktunya pas Naresh dan Masha masih kuliah

...

"Na, aku boleh tanya?"

"Boleh sayang, kamu mau nanya apa hmm?"

Saya tersenyum, sebenarnya saya sedang bosan karena disuruh Naresh duduk diam dalam waktu yang lama untuk jadi model lukisannya.

Sebenarnya kami sedang liburan ke pantai. Naresh yang mengajak saya karena saya lagi stress mengerjakan skripsi. Tapi lihatlah, setelah sampai di pantai dia malah meminta saya menjadi model lukisannya. Padahal kan saya mau healing sama dia menikmati suasana pantai atau lari larian di pinggir pantai bukan malah duduk diam seperti patung seperti ini.

"Na, kamu kan anak dari seorang Kalvari yang udah pasti penerus Kalvari Group."

"Iya, terus."

"Kamu punya cita-cita lain nggak selain jadi penerus perusahaan Ayah kamu?" Pertanyaan saya membuat Naresh menghentikan gerakan kuasnya di kanvas.

Dia menoleh menatap saya. Dia tersenyum dan mengangguk, "Ada kok."

"Oh ya? Apa?" Tanya saya penuh penasaran. Masalahnya dalam benak saya tidak mungkin Naresh memiliki cita-cita yang melebihi jadi CEO Kalvari Group. Ekosistem perusahaan keluarga Naresh itu sudah tersebar di berbagai kota besar di Indonesia dan Singapura, lalu apalagi cita-cita yang masih ingin diraih Naresh?

"Heh jangan gerak ya! Diem yang anteng. "

Saya cemberut dan kembali pada posisi saya semula. Kelakuan saya membuat Naresh menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk seulas senyuman.

"Dari kecil sebenernya cita-citaku sederhana loh Sha, aku cuma pengen rasain punya keluarga sendiri."

Saya mengerutkan kening bingung, "Keluarga sendiri? Kan kamu punya Na. Ayah sama Bunda kamu, mereka kan keluarga kamu."

Naresh tertawa, "Maksudku, aku yang jadi kepala keluaraganya, terus ada istri dan anak anakku Sha."

"Aku tuh pengen jadi papa muda. Sebelum lulus kuliah aku udah nikah dan saat aku wisuda istriku hamil besar, sederhana kan. "

Dia tersenyum kembali melanjutkan aktifitasnya menggerakkan kuas di kanvas. Senyumnya makin mengembang mungkin membayangkan begitu indahnya bila cita-citanya itu terwujud. Apa sekarang dia sedang membayangkan menjadi seorang suami atau membayangkan sedang mengganti popok untuk anaknya yang masih bayi? Entahlah saya tidak bisa menyelami imajinasinya itu.

Saya sendiri tidak tau harus merespon bagaimana. Jujur saya tidak menyangka seorang Naresh memiliki cita-cita seperti itu. Saya kira dia adalah cowok yang ambisius. Yang cita-citanya menaklukan dunia, menjadi CEO yang banyak disegani orang orang dan karyawanny. Tapi lihatlah, lelaki indah dihadapan saya ini memiliki mimpi sangat sederhana. Bukan menjadi kepala dari semua karyawan Ayahnya tapi menjadi kepala bagi keluarganya.

"Udah jadi, kamu udah boleh gerak." Dia kembali melihat saya dari balik kanvasnya membuat saya sedikit tersentak karena tadinya saya tak henti menatapnya.

Saya mencoba bersikap biasa saja saat Naresh memergoki saya menatapnya dengan cara melemaskan leher saya yang sudah kaku karena di suruh diam Naresh dalam waktu yang lama.

"Coba lihat." Saya berjalan menghampirinya dan betapa terkejutnya saya setelah melihat hasil lukisan Naresh di kanvas.

"Na..."Saya menoleh menatapnya yang masih duduk di kursinya mendongak menatap saya yang berdiri di hadapannya.

Dia tersenyum sangat lebar lalu merogoh saku celananya mengambil sesuatu dari sana dan meminta saya untuk membuka tangannya yang masih menggenggam.

"Nih buka deh."

Perlahan saya membuka genggaman tangan Naresh dan menemukan sebuah cincin disana.

"Will you marry me?"

Kalimat yang keluar dari bibir Naresh sama seperti kalimat yang ada di kanvas depan saya ini. Iya, dari tadi Naresh tidak melukis wajah saya melainkan melukis saya dan dirinya di pinggir pantai lalu dia berlutut di hadapan saya membawa sebuah cincin. Sangat persis seperti apa yang terjadi saat ini.

"K-kamu..."

Saya sampai kehilangan kata kata. Dia benar benar melakukan adegan yang ada dalam kanvas lukisnya. Berlutut di hadapan saya membawa sebuah cincin dengan bingkai pantai dan matahari yang nyaris terbenam di ujung garis lautan sana.

"Iya, aku lamar kamu Masha. Kamu mau wujudin cita-citaku yang tadi?"

Saya membongkar kembali ingatan saya beberapa menit yang lalu. Cita-cita yang Naresh maksud? Menikah muda? Dan itu dengan saya? Apa benar perkiraan saya?

"Jadi papa muda, punya istri yang hamil saat nanti aku wisuda, setelahnya aku pengen punya rumah sederhana di perbatasan kota dan desa dengan halaman belakang yang luas, punya banyak anak laki-laki dan perempuan yang lucu lucu. Cantik seperti kamu dan ganteng kayak aku. Tapi aku lebih suka kalau anak kita mirip kamu semua. Biar aku bisa lihat gimana kamu versi mini. Tapi kalaupun anak kita mirip aku, itu juga nggak akan jadi masalah. Karena aku akan melihat bagaimana aku versi kecil disayangi oleh kamu."

"Dan setiap pagi aku sendiri yang akan bikin sarapan untuk istri dan anak anakku. Eum... aku bakal masakin mereka ayam goreng lengkuas -- seperti masakan bikinan Bundaku. Aku suka banget dan aku harap keluargaku juga menyukainya. Aku akan pastikan mereka makan dengan enak setiap hari dan mendapat banyak cinta dariku Sha."

"Aku juga nggak akan biarin keluargaku kekurangan waktu dan kasih sayang dariku. Aku pastikan kalau aku selalu hadir di setiap fase pertumbuhan anak anakku. Dari mereka ada di rahim ibunya nendang nendang, lalu mereka lahir ke dunia, pertama kali mereka minum susu, pertama kali mereka bisa duduk, pertama kali mereka ngomong Ayah dan Ibu, pertama kali mereka masuk sekolah TK, bahkan pertama kali mereka jatuh cinta -- aku akan ada disana. Aku pastikan jadi suami dan Ayah yang bertanggung jawab sama keluargaku."

"Dan aku ingin meraih cita-citaku dari kecil sama kamu. Kamu mau wujudin cita-citaku Sha? Hmm?"

Dia mendongak menatap saya yang masih diam.

"Sha?"

Dilamar laki-laki di pinggir pantai. Dan dia adalah seorang Naresh Kalvari Andro. Laki-laki yang begitu indah, yang telah menemani saya dari titik terendah saya hingga saya pulih dari trauma saya.

Yang dia katakan barusan itu... janji masa depan yang begitu indah. Dan dia mau melakukannya hanya dengan saya. Diantara banyaknya wanita di dunia ini. Dia memilih saya.

Haruskah?

Saya masih diam menatapnya yang kini berlutut dengan senyum sangat indah menatap saya menunggu jawaban yang dia inginkan.

Tapi, yang saya lakukan justru kembali menutup tangan Naresh yang terbuka agar cincin itu kembali dia genggam.

"Maafin aku Na, aku nggak bisa nerima lamaran kamu."

...

Hai kembali lagi dengan saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai kembali lagi dengan saya

Tes ombak dulu 😊


With nana, 16 Mar 2023

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang