Masha pov
"Sha, kamu bahagia sama dia?"
Pertanyaan itu selalu muncul saat saya sedang bersama Mas Gafra. Ketika Naresh bertanya hal itu saya bilang ke Naresh kalau saya bahagia bersama Mas Gafra. Entah bahagia yang saya maksud dalam segi apa. Karena setelah Naresh bertanya saya baru menyadari selama saya bersama Mas Gafra saya sendiri merasa tidak dicintai olehnya. Seperti dalam hubungan ini saya yang mencintai sendirian.
Awalnya saya terkesan dengan cara pendekatannya. Mas Gafra baik, dia akrab dengan Ibu dan Ibu bilang Mas Gafra cocok dengan saya. Karena hal itu saya membuka hati untuknya dan rasa suka itu mulai tumbuh. Tapi setelah saya membuka hati untuknya dan menerima dia sebagai pacar saya perilaku Mas Gafra yang asli mulai kelihatan.
Dia seorang karyawan kantoran jadi sudah pasti sangat sibuk. Saya tidak mempermasalahkan jika kami jarang bertemu tapi saya hanya mempermasalahkan disetiap pertemuan kami dia akan sibuk sendiri. Dia akan fokus pada ponselnya dan mengabaikan saya ketika saya berbicara. Kadang saya sudah bercerita panjang lebar dan dia hanya menanggapi dengan, "Hah kamu tadi ngomong apa?"
Usia kami tidak terpaut jauh, Mas Gafra tiga tahun di atas saya jadi saya pikir dia akan banyak ngemong saya tapi saya juga salah. Bersama dia saya harus jadi sosok wanita dewasa yang dilarang keras untuk bersikap manja.
"Mas, kita main ke taman yuk sekali kali. Sekarang lagi musim bunga flamboyan, aku pengen piknik sama kamu. Abis itu pulangnya mampir Kodam naik bianglala ya ya..."
"Apa sih kayak anak kecil kamu. Kalau mau ngedate kan bisa canddle light dinner. "
"Mas jemput aku ya di kantor."
"Kamu bisa nggak sih mandiri dikit, kan biasanya juga bisa pakai motor sendiri."
Iya bersama Mas Gafra saya tidak bisa menunjukkan sisi kekanakan saya. Bahkan ketika saya PMS dan ngadu ke dia yang dia lakukan justru memarahi saya.
"Kalau perutnya sakit ya minum air hangat terus dibuat tidur bukan malah uring uringan nggak jelas. Padahal tiap bulan pasti haid tapi masih aja ngeluh sakit. "
Terkadang saya malah membandingkan perlakuan Mas Gafra dan Naresh pada saya. Saya tau ini salah tapi setiap kali Mas Gafra bicara kasar atau mengabaikan saya, saya selalu teringat dengan Naresh. Dia tidak pernah memperlakukan saya seperti itu.
"Perutnya sakit? Sini aku pijitin tangannya biar enakan."
"Sayang, aku bawain makanan buat kamu. Kamu lagi pengen makan apa?"
"Sayang, jangan pergi sendiri. Aku anterin kamu."
"Sayang aku tadi lewat jalan A Yani, disana ada bunga tabebuya mekar, tadi aku fotoin buat kamu. Kamu mau lihat langsung nggak? Kita bisa motoran sambil lihat bunga tabebuya."
"Sayang jangan telat makan ya, awas kalau kamu skip makan aku omelin kamu."
"Sayang, hari ini ada cerita apa?"
Dia suka saya sambatin, dia selalu khawatir tiap saya sakit, dia selalu menerima sisi kekanakan saya, dia juga selalu excited dengan cerita cerita random saya.
"Mas, Mas Gafra cinta nggak sama aku?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika kami dinner di sebuah restoran mewah yang ada di pusat kota Surabaya.
Dia yang tadinya sibuk memotong daging steak langsung menghentikan aktifitasnya.
"Kenapa tiba tiba nanya itu?"
Saya hanya mengangkat bahu saya, "Nggak papa, nanya aja. Kenapa Mas pacaran sama aku?"
Mas Gafra meneguk air putih di depannya lalu menatap saya, "Karena aku mau nikah, makanya aku milih kamu."