5. Hendery Aksa Kalingga

57 2 0
                                    

Masha pov

"Ehem... gimana nih rasanya main rumah rumahan sama Naresh. "

Saya langsung menoleh pada Ry dengan mengerutkan kening bingung. Saya baru saja berjuang berjalan dengan tertatih bukannya ditanyain kenapa jalan saya seperti itu eh malah ngomong nggak jelas.

"Apa sih, ngomong nggak jelas." Saya menaruh tas kerja saya di laci bawah meja kerja saya.

"Halah sakit cuman alibi lo doang, aslinya mah elo mau berduaan sama Naresh di apart iya kan?"

Saya langsung melotot, "Kok elo tau gue nginep di apart Naresh?"

"Gue sadap apartnya Naresh. Emang gue nggak tau apa elo ehem ehem sama dia."

"Ssst...! Lo ngomong apaan sih? Kalau sampai ada orang yang denger gimana Ry! Mereka bakal salah paham sama omongan elo."

Saya membekap mulut Ry dengan kedua tangan saya. Saya takut karyawan lain mendengar omongan ngawur Ry barusan dan berasumsi yang tidak tidak pada saya.

Ry melepaskan tangan saya dari bibirnya. Beberapa kali dia mengusap bibirnya sok sokan protes kalau tangan saya bau terasi padahal tangan saya wangi.

"Lo mau bunuh gue!"

Saya tidak peduli kalau dia mati di tangan saya. Salah sendiri punya mulut ember.

"Elo tau dari siapa gue semalem disana?"

"Pacar lo sendiri yang bilang. Tadi pagi dia bahkan bingung banget katanya bangun tidur raba raba sebelahnya udah kosong. Itu berarti semalem kalian tidur seranjang. Wah kalian parah banget ya belum apa apa udah kawin."

"Sssttt...! Omongan elo Ry!" Saya kembali melotot memperingatkan Ry agar tidak bicara sembarangan. Saya hanya tidur dengan Naresh, dan tidur yang saya bicarakan memang dalam artian sebenarnya, bukan dalam artian lain. Lagian Naresh hanya merawat saya saat saya sakit dia tidak mengambil keuntungan apapun.

Dan ngomong ngomong soal Naresh yang panik, iya saya sudah menduga hal itu pasti akan terjadi karena memang pagi tadi saya sengaja pergi dari apart Naresh tanpa sepengetahuan dia. Saya nekat masuk kerja karena saya mau menyelesaikan masalah saya dengan Pak Hendery, jujur saya kepikiran.

Kalau saya harus izin Naresh lebih dahulu dia pasti tidak mengizinkan saya masuk kerja dan berakhir marah marah seperti kemarin. Jadi saya mengambil pilihan lebih baik minta maaf daripada izin. Alias saya kabur lalu nanti setelah pulang kerja saya akan meminta maaf padanya kalau saya tidak mengindahkan omongannya semalam.

Untungnya dia tidur sangat lelap, ah antara lelap atau saya memang pintar kabur darinya. Padahal dia mengikat pinggang saya dengan lengan kekarnya itu, tapi dengan hati hati saya melepaskannya dan mengganti tubuh saya dengan guling biar dia merasa kalau masih memeluk saya. Bahkan untuk turun dari ranjang saya berusaha tidak membuat suara agar Naresh tidak terbangun.

"Ih dia kenapa sih ngomong ke elo! Gue nggak ngapa ngapain sama Naresh. Dia cuma rawat gue pas sakit, itu doang. Lo tau lah kalau gue lagi sakit kayak gimana manjanya. Nggak mungkin gue manja ke elo kan, bisa bisa gue diamuk sama Anggin."

"Halah alesan alesan. Gue nggak percaya sama elo. Elo tuh udah 26 tahun, bukan lagi Masha yang polos. Gue nggak percaya sama lo."

"Ish nih buktinya kalo lo nggak percaya. Kaki gue sakit makanya diurut sama dia." Saya memperlihatkan kaki saya yang di perban.

Ry hanya menengok dengan ogah ogahan dan kembali fokus dengan kertas kertas di mejanya. Ish, apa dia pikir saya sedang sandiwara?

"Tapi sumpah Ry gue beneran nggak ngapa ngapain sama Naresh. Gue cuma tidur dalam artian sebenernya bukan dalam artian yang lain. Elo percaya kek sama gue."

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang