13. Ke Rumah Naresh

60 5 2
                                    

Naresh pov

"Nana..."

"Astaga sayang kamu pakai baju apa!"

"Huh?" Masha menunduk mengamati penampilannya, "apa? Nggak ada yang salah sama bajuku."

"Jangan pakai baju tidur di luar rumah. Sini masuk mobil aja."

Gue cepet cepet bukain pintu mobil lalu nyuruh Masha buat masuk. Dia kelihatan bingung tapi ya pasrah aja. Gue juga masuk ke jok sebelah kanan lalu natap dia masih nggah habis pikir bisa bisanya dia keluyuran di luar kostan pake baju tidur. Gue jadi overthinking seberapa sering dia kayak gini, dan berapa banyak cowok yang udah lihat dia pake baju kayak gini.

"Kamu kenapa sih heboh banget."

Dia masih nggak sadar. Astaga pacar gue.

"Jangan pakai baju tidur kayak gini keluar rumah. Nggak bagus."

"Emang kenapa sih ini baju tidurku nggak terbuka ya, malah celananya panjang, lagian tadi aku keluar cuma mau ngambil martabak dari kamu."

Dia nggak tau aja kalau cowok tuh paling lemah kalau lihat cewek pakai piyama. Apa ya, kayak cantiknya nambah gitu. Makanya gue nggak mau Masha diliatin cowok cowok.

"Pokoknya nggak boleh, bahaya diluaran pakai kayak gini. "

Masha cuma merengut lalu dia mengangguk patuh untuk gak pakai lagi piyama keluar rumah.

"Hari ini gimana?" Gue ngambil tangan Masha untuk gue genggam dan gue taruh di paha gue.

"Capek. Kamu?" Dia balik bertanya.

"Sama."

Masha tersenyum nelangsa liatin gue yang masih pake kemeja ala ala orang kantoran, "Kamu nggak nyaman ya kerja di kantor?"

Kedua tangannya bergerak menyentuh kerah kemeja gue melepaskan satu kancing paling atas kemeja yang gue pakai lalu mengendurkan dasi yang udah mencekik leher gue dari pagi. Dia tau banget daritadi gue nggak betah sama kemeja rapi gini.

"Aku nggak biasa aja kerja kayak gitu. Cuman besok Ayah sama Bunda udah pulang jadi aku nggak akan ke kantor lagi."

Masha mengangguk, "Kamu mau pulang?"

Gue masih berpikir kemudian tersenyum, "Kamu mau nemenin? Ketemu Bunda."

Masha menarik tangannya yang gue genggam.

"Kenapa?" Tanya gue melihat tangannya yang kini dia remas satu sama lain.

"A-aku... udah lama nggak ketemu Bunda, nervous. Aku masih belum jago masak, aku juga belum bisa bikin kue, dan... aku... aku belum bisa kamu banggain soal pekerjaanku. Jangan deh, kamu aja sendiri pulangnya aku nggak ikut. Titip salam aja buat Ayah Bunda."

Gue menganga mendengar rentetan kalimat yang semuanya berisi kekhawatirannya. Ini dia cuma mau ketemu Bunda gue bukan mau ketemu hakim pengadilan.

"Sayaaang... kamu tuh kenapa sih?" Gue terkekeh mengusap punggung tangannya yang saling bertaut karena gelisah.

"Bunda nggak akan nanyain kamu macem macem atau ngetes kamu udah jago masak apa belum udah bisa bikin kue apa belum, udah jadi PNS atau pegawai BUMN belum. Bunda nggak akan lakuin itu astaga."

Dia menurunkan bahunya diikuti mukanya yang lesu. Astaga Masha kenapa sih? Overthinking lagi?

"Sha, dengerin aku." Gue merangkum kedua pipinya dengan tangan gue untuk gue hadapkan menatap mata gue.

"Kamu kenal Bundaku kan? Kamu udah sering telfonan atau chatan kan? Emang Bunda pernah nanya macem macem? Emang pernah Bunda nuntut kamu macem macem?"

Masha menggeleng.

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang