19. People Come and Go

46 4 1
                                    

Maaf ini panjang banget kalo capek bisa dibaca 2 kali

Masha pov

Kamu tadi nggak bawa jaket?" Tanya Naresh ketika melihat saya menuruni mobilnya hanya menenteng tas selempang.

Saya membulatkan mata setelah sadar meninggalkan sweater yang tadinya sudah saya siapkan di kursi depat kost kostan.

"Ketinggalan dong aku taruh kursi depan kostan tadi Na."

Naresh menghela nafas dan tertawa kecil setelahnya, "Tuhkan pikun, mikir apa sih kamu?" Dia menarik pipi saya.

"Ya udah sih nggak pakai jaket nggak papa, aku nggak dingin kok Na."

"Nggak gitu, soalnya Eja milih tempatnya di rooftop. Aku juga udah ngomelin Eja sih, udah tau malem gini eh dia malah booking tempatnya di rooftop. Belum lagi asep rokoknya mesti banyak. Tuh anak nggak mikir banget nongkrongnya tuh bawa cewek, nggak cowok doang. "

Bersamaan dengan itu Naresh menyerahkan jaket denim yang tadinya dia kenakan pada saya menyisakan dirinya yang hanya mengenakan kaos hitam polosnya. Karena akhir akhir ini saya sibuk dan jarang bertemu dengan Naresh kini saya baru menyadari kalau kemungkinan besar Naresh mengalami penambahan berat badan, terlihat dari kaos hitam yang biasa dia kenakan terlihat sesak di bagian lengan dan dadanya.

"Kenapa?" Naresh memergoki saya menatap dirinya yang berbalut kaos hitam saja.

Saya hanya tertawa geleng geleng melihat badannya yang semakin atletis. Benar benar seperti gapura kabupaten.

Dia ikut tertawa memamerkan bisepnya pada saya, "Nggak sia sia kan aku rajin ngegym. Tuh pegang deh, beda banget sama lima tahun lalu nggak sih yang?" Naresh membimbing saya agar memegang lengannya tapi buru buru saya tarik tangan saya.

"Ish mana boleh pegang pegang! Adek inget ya bagian tubuh mana yang boleh dan nggak boleh dipegang sama orang lain!" Kata saya bertingkah seolah olah menjadi guru TK. Terkadang saya memang sefrekuensi dengan Naresh. Emang dia aja yang bisa random.

Naresh tertawa sampai mengusap ujung matanya yang berair, "Siap cikgu!" Serunya mengambil sikap hormat pada saya, "Dada, terus pantat terus ini," dia menunjuk bagian tubuh bawahnya yang dia maksud dan bikin saya tambah ngakak, "semuanya ini nggak boleh dipegang orang lain."

"Nah itu pinter. " Saya mengusak puncak kepalanya dengan kaki berjinjit. De javu, ini seperti ketika saya dan Naresh mengedukasi anak anak panti asuhan yang sering kami datangi.

"Padahal cikgu pernah loh pegang pegang dadaku, mana di usap usap lagi."

Saya langsung melotot dan spontan membekap mulut Naresh. Saya ingat kapan saya melakukan hal senonoh itu. Iya, saat di sofa kostan saya sewaktu saya dan Naresh hampir lepas kendali. Jadi Naresh masih mengingatnya? Aish, padahal saya mati matian menghapus memori itu dari otak saya. Karena kalau diingat ingat sangat amat memalukan. Saya seperti perempuan agresif, ewh.

"Naresh sumpah ya, kamu nyebelin! "

Dia menangkupkan kedua tangannya memohon agar saya melepaskan tangan saya yang membungkam mulutnya.

Karena kasihan mukanya merah seperti kehabisan oksigen akhirnya saya melepaskannya. Dan tentu saja Naresh langsung terengah engah menghirup oksigen sebanyak mungkin.

"Parah, KDRT ini namanya."

"Bodo. Udahan becandanya, ayo masuk."
Saya menarik lengan Naresh memaksanya agar cepat masuk ke cafe.

"Kamu suka aku yang sekarang apa 5 tahun lalu? "

"Apa lagi nih?" Tanya saya curiga.

"Nggak, nanya aja. Maksudku badanku, kamu suka aku krempeng apa berisi kayak sekarang? Dulu aku krempeng banget perasaan."

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang