29. Kita Usahakan Rumah Itu

113 7 6
                                    

Masha pov

"Masha..."

Saya menoleh ke arah sumber suara dan senyum saya seketika mengembang menemukan dia. Saya memperhatikannya tanpa ingin ada satu hal yang saya lewatkan. Usianya sekarang 29 tahun, dan beberapa bulan lagi akan genap 30 tahun sama seperti saya. Saya menyadari, dia sudah berubah menjadi laki-laki matang. Badannya tinggi tegap dengan dada bidangnya lalu tatanan rambutnya kini berbeda dari terkahir kali saya lihat. Dia sudah tidak memakai gaya rambut hair down, kini dia memilih memakai gaya rambut hair up yang memperlihatkan T zone nya yang menawan. Dengan begini saya dapat melihat alis tebalnya tanpa halangan apapun. Satu hal, dari luar dia kelihatan baik baik saja.

Dia berlari kecil menghampiri saya yang juga berjalan ke arahnya. Tapi semakin saya mendekat ke arahnya tangis saya tak terbendung lagi. Hingga ketika dia sampai lebih dulu di depan saya tangis saya pecah begitu saja, bagaimana dia dengan sangat epik menyembunyikan hancurnya di depan banyak orang.

"K-kok nangis?"

Saya hanya menggeleng dan cepat cepat menghapus air mata saya lalu memberikan seulas senyum padanya. Dia ikut tersenyum dan tangannya bergerak menghapus sisa tangis saya dengan cepat.

"Apa sih dateng dateng nangis gini. Kamu kenapa?" Katanya menghapus lagi dan lagi air mata saya.

"Gak tau, lemah banget aku tuh." Saya tertawa menyedot ingus saya dan seketika membuatnya ikut tertawa.

"Udah cup jangan nangis." Dia mengusak rambut saya hingga berantakan tapi setelah melihat saya cemberut dia langsung merapikannya kembali.

"Selamat ya Naresh."

Saya memang menemui Naresh sehari setelah saya dari Dokter Kuncoro. Kebetulan Naresh mengadakan pameran lukisan jadi saya memiliki alasan untuk menemuinya.

"Makasih ya Sha udah dateng."

Saya tersenyum lantas memberikan kepadanya buket bunga hasil tangan saya sendiri. Sebelum kesini saya sengaja ke florist milik Nadira dan memintanya untuk mengajari saya membuat buket bunga. Walaupun itu tidak rapi tapi saya membuatnya sambil memikirkan Naresh.

Dia mencium aroma bunga yang saya berikan dan tersenyum pada saya. Manis sekali.

"Cantik banget bunganya, kayak yang ngasih."

Spontan saya memukul lengannya pelan, "Masih aja suka ngegombal. Udah berapa banyak cewek yang udah kamu gombalin hmm?"

Naresh menggeleng cepat, "Mana ada, aku nggak pernah gombalin cewek lain ya. Nggak minat."

"Kok nggak minat sih?"

"Ya nggak minat aja, kayak cewek lain tuh dimataku udah ngeblur gitu. "

Saya hanya tertawa geleng geleng. Sekian detik kami hanya terdiam menatap lukisan dia yang terpajang tak jauh dari kami berdiri.

"Apa kabar Sha?"

Saya mendongak menatapnya yang berdiri menjulang di samping saya. Dia ternyata juga menunduk menatap saya.

"Aku, baik. Kamu?"

Dia hanya tersenyum.

"Aku denger kamu putus sama pacar kamu."

Saya menoleh kembali padanya dengan cepat. Dia tau darimana saya sudah putus dengan Mas Gafra? Perasaan hanya Mas Duta dan Nadin yang tau. Apa mungkin salah seorang dari mereka ada yang bilang pada Naresh?

"K-kamu tau darimana?"

Dia tersenyum, "Nadin. Baru kemarin. "

Saya menyumpahi Nadin dalam hati. Kalau saja dia bukan Kakak Ipar saya mungkin nanti sepulang dari sini akan saya jambak rambutnya. Dia masih saja ember, padahal saya sudah wanti wanti dia agar tidak ngomong ini ke orang lain apalagi ini Naresh.

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang