Masha pov
"Dek, undangan siapa?"
Saya mendongak mendapati Mas Duta memperhatikan saya yang sedang memainkan undangan pernikahan di tangan saya.
"Oh ini." Saya mengangkat undangan berwarna putih gading di tangan saya, "undangan nikahannya Eja sama Nadira Mas. Nih, Eja nitip buat Mas."
Saya menyerahkan undangan pernikahan milik Eja pada Mas Duta. Sebenarnya Eja hendak memberikan sendiri undangan itu pada Mas Duta tapi karena saya melihat dia sibuk sekali mengurus pernikahannya yang tidak pakai WO akhirnya saya inisiatif untuk mengajukan diri membantu menyebarkan undangan miliknya pada orang orang yang saya kenal termasuk salah satunya Mas Duta, Kak Bin dan Nadin.
"Loh Eja mau nikah?" Mas Duta mengambil undangan itu dari saya lalu ikut duduk di samping saya sambil membaca isi undangan pernikahan Eja.
"Iya, akhir bulan ini Mas."
"Mas nggak nyangka Eja duluan yang nikah. Padahal Eja tuh pacarannya ya baru sekali ini kan? Kalo nggak salah juga belum lama pacarannya."
Mas Duta memang lebih akrab dengan Eja daripada dengan Naresh. Saya juga heran, mungkin karena dulu Mas Duta sering main ke kostan Mas Tio dan disana ketemu Eja yang emang anaknya tuh kalem, beda sama Hamka dan Naresh yang cenderung pecicilan dan susah di atur.
"Iya, aku pun nggak nyangka juga Mas."
Sekian menit kami hanya diam tanpa ada pembicaraan apapun di lantai teras depan rumah. Saya sibuk main hp sedangkan Mas Duta sibuk memandangi undangan pernikahan milik Eja.
"Dek..."
"Heum." Saya menoleh menatap Mas Duta yang masih fokus melihat undangan milik Eja. Tangannya tergerak menyentuh tulisan nama Eja dan Nadira yang terukir dengan tinta warna silver yang ada pada sampul undangan tersebut.
"Naresh nggak pengen kesini bawa orang tuanya?"
Saya terkejut tidak menyangka Mas Duta menanyakan hal itu tiba tiba. Bahkan saya tidak tau harus menjawabnya bagaimana.
"Maksudnya?"
Mas Duta menghela nafas samar lalu matanya menerawang jauh ke depan sana entah menatap apa sampai sampai tidak ingin menatap lawan bicaranya.
"Kamu tau maksud Mas. "
Saya memang tau maksud Mas Duta. Tapi jujur saya tidak tau harus jawab apa. Saya takut menyakiti semua orang jika hal itu terjadi.
"Kalian udah menjalin hubungan sangat lama. Dia nunggu kamu setahun untuk jadi pacar. Dan kalau dihitung hitung, kalian udah sama sama 5 tahun. Itu bukan waktu singkat Sha. Apa Naresh nggak kepengen minta kamu ke Ibu dan Mas untuk jadiin kamu istrinya?"
Saya menunduk memainkan pinggiran kuku saya.
"Kalau Mas lihat, kalian udah akrab sama keluarga satu sama lain. Naresh akrab banget sama Ibu, klop banget kalau udah masak di dapur. Dulu pas Ayah masih ada, dia pun udah akrab, Ayah restuin banget dia jadi pendamping kamu. Kamu juga diterima oleh orang tua Naresh yang itungannya orang ternama di Indonesia. Mereka sama sekali nggak permasalahin latar belakang kamu yang dari keluarga sederhana. Mereka juga nggak nuntut kamu macem macem. Mas yakin baik dari pihak kamu dan pihak keluarga Naresh nggak masalah sama hubungan kalian jika sampai jenjang pernikahan. Lalu apa yang bikin kamu maupun Naresh nggak melangkah ke jenjang itu?
Saya menarik nafas dalam mengisi paru paru saya yang tiba tiba saja sesak. Sakit. Entahlah, hanya untuk bicara saja seolah tidak bisa.
"Hmm dek?" Tanya Mas Duta lagi menuntut jawaban dari saya.