Naresh pov
"Aku tadi bikinin bubur, makannya di sini aja aku suapin."Gue udah melihat Masha duduk di pinggiran ranjang dengan semangkuk penuh bubur dia letakkan di nakas. Jadi dia bikinin gue bubur. Padahal gue tau banget dia tuh nggak suka sama bubur tapi demi gue dia masakin itu.
Gue datang menghampirinya lalu duduk di sampingnya.
"Aku bisa makan sendiri di meja makan, nggak usah di suapin di ranjang segala Sha."
Dia berdecak mengambil mangkok dari tangan gue. Tangannya yang lain menyingkap selimut mengisyaratkan gue disuruh masuk kedalamnya.
Gue pasrah aja menyandarkan punggung gue di kepala ranjang lalu dia menutupi tubuh gue dengan selimut.
Dia meletakkan buburnya di nakas lalu sibuk lagi ngacak ngacak tas kerjanya dan ternyata dia mengeluarkan jepitan rambut dari sana. Dia dengan telaten menyibak rambut yang menutupi kening gue ke belakang lalu mengenakan jepitan itu untuk menahan rambut gue agar tidak menghalangi mata.
"Rambut kamu udah panjang nutupin mata, nggak mau potong?" Dia yang tadinya sibuk dengan rambut gue tiba-tiba natap mata gue yang dari tadi merhatiin dia.
"Iya nanti aku minta tolong Eja pas kesini."
"Kok Eja, emang dia bisa? Entar malah pitak lagi. "
Gue nahan ketawa pas Masha ngomong gitu. Dia sendiri masih sibuk buka cool fever dari bungkusnya lalu perlahan nempelin di kening gue dengan hati-hati biar gue nggak kaget sama rasa dinginnya.
"Sama aku aja, aku anter ke barber shop biar bener motongnya."
Gue tersenyum mengangguk. Jujur aja gue emang sengaja panjangin rambut gue biar Masha ngajak gue ke barber shop. Eja mah cuma alesan gue doang.
"Makan dulu ya, abis itu minum obat."
Masha mengambil mangkok berisi bubur dan mulai meniup niupnya biar nggak panas.
"Harusnya kalau sakit tuh kamu pulang biar ada yang rawat."
Gue menunduk, "Pulang kemana sih? Kan ini rumahku."
Masha spontan meletakkan kembali sendok di tangannya.
"Ya ke rumah Citraland lah. Ke Bunda. Biar di rawat Bunda. Gimana kalau tadi aku nggak disini? Siapa yang rawat kamu? Kamu sendirian sakit kayak gini. Terus kalau kamu kenapa napa gimana nggak ada yang tau? Aku takut tau!"
Gue tertawa melihat dia secemas ini padahal mah gue demam biasa doang bukan patah tulang atau jantungan.
"Ini sakit biasa sayang... kamu heboh bener sih. Aku udah biasa lagi kayak gini. Lagian kalaupun aku pulang percuma, Bunda nggak ada di rumah. Bunda ikut Ayah ke Singapore. Yang ada sama aja aku disana sendirian. Malah lebih parah disana, di rumah segede itu aku sendirian. Kelihatan hampa banget tau, mending disini nggak sehampa itu."
Masha natap gue dengan mata udah berkaca kaca. Kenapa? Dia kasian sama gue? No! Gue nggak mau dikasihani. Lagian ya emang bener gue tuh udah biasa kayak gini. Dari kecil gue sering ditinggal Ayah Bunda kerja. Dan saat gue lagi sakitpun gue dituntut nggak cengeng. Nggak ngalem sama orang tua gue. Gue mikir kalau gue masih bisa jalan itu berarti sakit gue nggak parah. Makanya tiap kali sakit gue sendiri lah yang rawat. Gue nyari obat sendiri, gue bikin teh sendiri, bikin bubur sendiri, gue kompres diri gue sendiri dan kalaupun udah nggak kuat ya gue ke dokter sendiri. Pokoknya selagi gue bisa lakuin sendiri ya gue nggak akan repotin Ayah sama Bunda yang kerja.
"Kamu mau nangis? Kenapa sih?"
Dia menggeleng menoleh ke arah lain biar gue nggak bisa natap matanya yang udah berair.