24. Kesempatan Kedua?

51 5 0
                                    

Masha pov

Sudah seminggu saya menutup akses komunikasi dengan Naresh. Dia mrmang berusaha memperbaiki kesalahannya dengan meminta maaf pada saya baik langsung maupun tidak langsung. Dia akan datang pagi pagi ke kostan saya bahkan dia juga ada saat saya pulang kerja, spam chat juga banyak sekali sampai menumpuk. Tapi semua usahanya tidak saya tanggapi. Bukannya saya mengabaikannya, hanya saja dada saya masih sesak ketika melihat wajahnya. Bayangan Sakura dan anaknya selalu muncul saat saya melihat Naresh. Dan itu membuat saya lebih benci pada diri saya sendiri. Kenapa saya begitu childish. Iya, kata kata Naresh itu masih saya ingat dengan jelas. Bagaimana dia bilang saya ini childish, saya nggak mau ngalah sama anak kecil. Setelah saya pikir memang benar, saya sejahat itu. Tapi kalau saya disuruh memilih saya akan tetap melakukan hal yang sama. Saya akan tetap tidak mengalah pada anak Sakura. Saya akan tetap meminta Naresh mengabaikan Sakura. Saya hanya ingin Naresh melihat saya saja, tidak pada wanita lainnya.

Saya tau diluar sana Naresh masih menunggu saya pulang kerja. Saya sengaja belum keluar meski seluruh karyawan sudah pulang. Dan sekarang disinilah saya. Di tangga darurat. Seminggu ini saya sering mengunjungi tempat ini hanya untuk menangis. Tangga darurat memang tempat paling aman karena jarang dijamah oleh para karyawan.

Saya memeluk lutut saya dan menangis disana. Seharian saya sudah menahan rasa sesak ini, tidak mungkin juga ketika saya bekerja sambil menangis. Sangat tidak profesional makanya saya menunggu jam kantor selesai hanya untuk mengeluarkan air mata saya.

"Saya pikir kuntilanak. Ternyata kamu."

Saya mengangkat wajah saya lalu mencari cari sumber suara.

"Pak Hendery."

Dengan cepat saya mengusap jejak tangis saya dan berdiri menundukkan kepala.

"Kenapa belum pulang? Malah nangis disini kayak kuntilanak." Dia menuruni satu per satu anak tangga lalu duduk di tempat saya menangis tadi.

"Kenapa nangis? Perasaan saya nggak marahin kamu hari ini." Dia mendongak menunggu jawaban dari saya.

Saya hanya tersenyum menggeleng.

"Permisi Pak saya mau pulang." Saya menundukkan tubuh saya untuk pergi tapi Pak Hendery menghalangi langkah saya dengan tangannya.

"Duduk sini dulu. Enak aja kamu pulang setelah bikin takut saya."

Saya mengerutkan kening. Padahal saya cuma menangis apa iya suara tangisan saya semenakutkan itu sampai sampai Pak Hendery takut.

Dia menatap saya seolah memaksa saya untuk duduk. Saya pasrah saja duduk di sampingnya daripada kena omel.

"Kamu ada masalah? Apa ada pekerjaan kamu yang bikin pusing? Atau kamu ada masalah sama temen kerja kamu?"

Saya menggeleng, "Saya sudah tahan banting kerja disini Pak. Dulu mungkin saya sering nangis disini karena diomelin Pak Hendery atau saya ditekan oleh teman teman saya yang lain tapi fase itu beneran udah dibelakang sana, sekarang saya menikmati pekerjaan ini."

Iya, dulu saya juga sering kesini tiap kali habis dimarahin Pak Hendery atau saat sedang stress dengan pekerjaan saya. Tapi fase itu sudah lama berlalu.

"Itu artinya bukan masalah pekerjaan. Lalu kenapa kamu nangis sampek segitunya disini? Kalau kamu mau tau, saya sudah denger tangisan kamu seminggu. Saya kira tangisan perempuan yang saya dengar tiap malam itu suara tangisan kuntilanak penunggu gedung ini, eh setelah saya memberanikan diri buat ngecek ternyata kamu."

Saya terkekeh mendengar penuturan Pak Hendery yang mengira saya ini hantu. Padahal perasaan saya nangisnya nggak kenceng deh.

"Maaf ya Pak saya bikin Pak Hendery takut. Saya nggak akan ulangin lagi." Kata saya dengan kedua tangan bertaut di paha.

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang