Aiden mengacak rambutnya frustasi. Otaknya terasa panas detik ini.
Pagi tadi, Aiden menemukan Kiara berada di tempat yang tak seharusnya ia kunjungi. Dan Aiden juga menemukan wajah pias Kiara, jelas tadi Aiden membuatnya takut.
Dan apa Kiara sudah masuk ke ruang pribadinya? Entahlah, Aiden pun tidak mengerti, tapi Aiden berharap belum. Karena jika sudah, Kiara pasti akan mengerti separah apa penyakitnya. Juga semengerikan apa dirinya.
Mengerang kesal, Aiden pun lagi-lagi mengacak rambutnya. Berdecak kesal berkali-kali. Baru semalam Aiden menyuntikkan obat ke tubuhnya, tapi sekarang dia sudah merasa stress luar biasa. Dia butuh obat, lagi.
Tok Tok
Ketukan pintu disusul Tomi yang masuk dengan tumpukan berkas di tangannya berhasil membuat Aiden semakin menatapnya kesal.
"Tuan, ini berkas yang tempo hari anda minta. Juga berkas dokumen baru untuk kerja sama pembangunan gedung baru pusat perbelanjaan di tengah kota."
Aiden menerimanya tanpa minat, dan meletakkannya begitu saja di samping lengannya. Dia sedang tidak ingin di pusingkan dengan banyaknya pekerjaan. Pikirannya pun sedang kalut.
"Ada yang lain?" Tanya Aiden begitu Tomi tak kunjung pergi dari ruanganya.
"Lima menit lagi kita ada meeting dengan klien, anda tidak lupa kan, tuan?" Tanya Tomi yang berhasil membuat Aiden berdecak kesal.
Dia hampir lupa, padahal Tomi sudah mengingatkannya dari setengah jam yang lalu.
"Ya, kita meeting di sini saja. Beritahu mereka untuk datang. Aku sedang tidak mood keluar perusahaan." Ujar Aiden dengan sedikit enggan.
"Tapi kita sudah berjanji akan meeting di luar, tuan?"
"Aku yakin mereka tidak akan keberatan jika harus datang kemari, Tomi."
Melihat mood bosnya yang terlihat sedang buruk, Tomi pun pada akhirnya mengangguk patuh. Dan bergegas undur diri untuk menghubungi pihak klien.
****
Aiden melirik jam di pergelangan tangannya kesal, sudah lewat dari lima menit. Dan klien nya belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Dasar tidak disiplin. Rutuk Aiden kesal. Meski begitu dia tetap duduk di tempatnya dengan tenang. Meski sesekali ekor matanya melirik kearah pintu masuk.
Kini dia dengan Tomi duduk di ruang meetingnya di perusahaan, sudah terhitung lima menit yang lalu lebih tepatnya.
Tapi belum ada tanda-tanda sang klien menunjukkan batang hidungnya. Aiden pun mulai jenuh menunggu. Sesekali, jari-jari tanyanya mengetuk-ngetuk di atas meja tak sabaran.
Moodnya sedang hancur sedari pagi, jangan sampai karena hal kecil ini dia harus marah-marah tidak jelas.
"Apa kamu sudah menghubunginya, Tomi?" Tanya Aiden terdengar tidak sabaran.
Tomi mengangguk pasti. "Mereka tadi sudah berada di tempat kita membuat janji, tuan. Dan mungkin sedang dalam perjalanan menuju kemari."
"Seharusnya, kamu mengatakan kepada mereka jika aku tidak suka keterlambatan." Desis Aiden geram. Meski dia yang salah disini, karena seenak hati memindah tempat meeting. Tetap saja dia tidak suka keterlambatan, kliennya itu terlihat lamban.
Dia jadi penasaran seperti apa kliennya itu, kenapa lama sekali. Baru kali ini Aiden harus menunggu kliennya. Padahal mereka sama-sama memiliki peran penting di proyek itu.
Tomi hanya mengangguk sekilas. Tidak membalas.
Sekitar sepuluh menit Aiden dan Tomi menunggu klien datang. Dan setelah sepuluh menit, pintu ruangan Aiden barulah di ketuk dari luar.
Terlihat sekertaris keduanya, Denisa masuk dengan dua orang di belakangnya. Yang Aiden yakini adalah kliennya.
Aiden pun pada akhirnya berdiri dari duduknya, namun ketika Aiden mengangkat wajah. Kedua matanya pun terbelalak begitu menemukan siapa salah satu kliennya di depannya.
Dan hal yang sama pun terlihat dari raut Tomi. Dia pun sama terkejutnya dengan Aiden. Bahkan Tomi tidak bisa menutupi keterkejutannya.
"Mr. Aiden, saya senang karena pada akhirnya kita bisa bekerja sama." Aiden hanya tersenyum kikkuk menanggapi.
"Perkenalkan, saya Adam. Saya yang akan menghandle proyek ini. Dan dia sekertaris saya, Kathy Lutz."
"Saya harap kita bisa berkerja sama dengan baik." Balas Aiden menerima uluran tangan pria parah baya di depannya. Sedang untuk Kathy, Aiden hanya melempar senyum tipis. Sekedar sebagai basa-basi.
"Mari silahkan duduk." Aiden mempersilakan pada kliennya untuk mengambil tempat duduk di depannya.
Semua meeting pun berjalan sesuai rencana, bahkan lebih cepat dari perkiraan Aiden.
Namun tatapan Aiden sama sekali tidak pernah mengarah pada Kathy. Sekedar melirik pun tidak. Lebih tepatnya, Aiden seakan enggan untuk menoleh kearahnya. Dia pun terlihat begitu menghindari tatapan Kathy.
Sesekali, Kathy melirik ke arah Aiden. Dia terlihat selalu menghindari tatapan Kathy. Meski Kathy menatapnya intens, lurus, Aiden tetap menghindari tatapan matanya.
Dan dari segi mana pun Kathy menatapnya, tidak ada satupun yang berubah dari Aiden. Dia masih terlihat sama. Yang membedakan hanya tatapan sinis nan datarnya saja. Sisanya, dari segi fisik juga penampilan masih tetap sama.
Aiden mendengarkan semua penjelasan Tomi. Presentasi Tomi begitu serius juga nampak menakjubkan seperti biasa.
"Baiklah, Mr Sincler. Saya harap kit bisa berkerja sama dengan baik. Dan proyek ini pun berjalan lancar."
Aiden mengangguk pasti. Menerima jabat tangan Adam tanpa ragu. "Saya harap juga begitu." Balas Aiden.
Setelah berbasa-basi, Aiden pun membiarkan Tomi mengantar klien mereka. Sedang dia pun kembali terduduk di tempatnya.
Kepalanya yang sedari awal terasa nyeri semakin menjadi-jadi. Bahkan lebih terasa ketika tadi berhadapan dengan Kathy. Aiden bukan tidak sadar Kathy terus menatapnya, bahkan dia pun dengan sengaja terang-terangan menatapnya. Berharap Aiden balik menatapnya mungkin.
"Anda baik-baik saja, tuan?" Tanya Tomi begitu dia selesai mengantar Adam juga Kathy.
Pandangannya nampak menatap Aiden khawatir. Bagaimana pun pertemuan dengan Kathy tidak lah mudah bagi bosnya pasti.
Aiden hanya mengangguk sekilas, kepalanya masih berdenyut nyeri.
"Apa anda ingin saya menyerahkan proyek ini kepada, tuan---"
BRAK
Aiden hanya melirik kearah pintu sekilas. Ayahnya masuk dengan wajah kaku. Sudah Aiden duga jika ayahnya tidak pasti tau jika dia tadi sempat bertemu dengan Kathy.
"Apa-apaan ini, Aiden?" Geram Rick nyalang. "Bagaimana mungkin wanita itu datang kemari? Apa lagi ini?"
"Tuan Rick, saya bisa jelaskan--"
"Berhenti membelanya, Tomi! Berhenti bersikap lunak pada Aiden!" Sentak Rick tajam. Berhasil membungkam Tomi.
"Dan kamu Aiden, bukankah kamu sudah mengatakan padanya, jika jangan pernah menemui mu lagi? Lalu apa ini?"
"Aku juga baru tau, dad, jika dia adalah sekertaris tuan Adam."
"Lalu bagaimana dengan dia? Dia tidak mungkin tidak tau kan, jika mereka bekerja sama dengan kita?"
"Entahlah. Aku juga--"
"Kalau begitu biar Daddy yang menghandle proyek ini." Sela Rick tegas. Menoleh kearah Tomi. "Tomi, katakan pada mereka. Jika aku yang akan menghandle proyek ini."
"Tapi, dad---"
"Jika mereka keberatan, kita bisa membayar biaya pinalti. Atau kalau perlu, kita batalkan kerja sama ini." Ucap Rick final. Dan berhasil membuat Aiden hanya menghela nafas pasrah. Dia tau, jika dia melawan ayahnya, dia tidak akan pernah bisa menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Proposal(SELESAI); Season 2
RomanceKiara tahu, sejak dia memilih tetap tinggal di samping Aiden. Maka akan ada banyak hal yang mungkin saja akan dia ketahui suatu saat nanti. Apalagi saat mengingat banyak rahasia dibalik sikap Aiden selama ini. Maka dia harus menyiapkan segalanya, te...